MAKALAH
KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH I
ASUHAN
KEPERAWATAN PADA PASIEN THALASEMIA

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 7
1.
Andriana
Rahmaniati ( 15003 )
2.
Ayu
Pratidina ( 15005 )
3.
Fira
Santya ( 15016 )
4.
Kiky
Apriliany ( 15021 )
5.
Mardiul
Kuswa ( 15026 )
6.
Novia ( 15031 )
AKADEMI
KEPERAWATAN HARUM JAKARTA
TAHUN
2016
KATA PENGANTAR
Kami
panjatkan puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat
dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah tentang “Asuhan Keperawatan pada
pasien dengan Thalasemia”. Selesainya makalah ini berkat bantuan dari berbagai
pihak oleh karena itu, pada kesempatan ini kami sampaikan terima kasih kepada
yang terhormat:
1.
Ibu Rusmawati Sitorus, S.Pd, S.Kep, MA selaku
Direktur Akademi Keperawatan Harum Jakarta .
2.
Ibu Ns. Ari Susiani, M.kep selaku wali kelas
tingkat II.
3.
Ibu Ns. Khotimah, S.Kep selaku dosen mata ajar
KMB I Hematologi.
4.
Rekan-rekan semua angkatan XVII Akademi Keperawatan Harum Jakarta.
5.
Secara khusus kami menyampaikan terima kasih
kepada keluarga tercinta yang telah memberikan dorongan dan bantuan serta
pengertian yang besar kepada kami, baik selama mengikuti perkuliahan maupun
dalam menyelesaikan makalah ini.
Kami
menyadari bahwa ini masih jauh dari sempurna, untuk itu kritik dan saran yang
bersifat membangun sangat kami harapkan dan sebagai umpan balik yang positif
demi perbaikan dimasa mendatang. Harapan kami semoga makalah ini bermanfaat
bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya di bidang Keperawatan Medikal
Bedah.
Akhir
kata, kami mengucapkan terima kasih dan kami berharap agar makalah ini
bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.
Jakarta, November 2016
Kelompok VII
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................... i
DAFTAR ISI............................................................................................................... ii
BAB 1 PENDAHULUAN.......................................................................................... 1
A. Latar
Belakang.................................................................................................. 1
B. Rumusan
Masalah............................................................................................. 3
C. Tujuan
Penulisan............................................................................................... 3
D. Manfaat
Penulisan............................................................................................ 3
E. Sistematika
Penulisan....................................................................................... 4
BAB II TINJAUAN TEORI..................................................................................... 5
A. Pengertian
Thalassemia..................................................................................... 5
B. Klasifikasi
Thalassemia..................................................................................... 8
C. Etiologi............................................................................................................. 12
D. Patofisiologi...................................................................................................... 14
E. Gejala
Klinis..................................................................................................... 17
F. Komplikasi........................................................................................................ 20
G. Pemeriksaan
Penunjang.................................................................................... 20
H. Pencegahan....................................................................................................... 23
I. Penatalaksanaan
Medis..................................................................................... 26
BAB III ASUHAN KEPERAWATAN.................................................................... 29
A. Pengkajian......................................................................................................... 28
B. Diagnosa
Keperawatan..................................................................................... 31
C. Rencana
Keperawatan...................................................................................... 32
BAB IV PENUTUP.................................................................................................... 46
A. Kesimpulan....................................................................................................... 46
B. Saran................................................................................................................. 46
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Thalasemia pertama kali ditemukan
di sekitar Laut Tengah oleh seorang dokter di Detroit USA yang bernama Thomas
B. Cooley pada tahun 1925. Ia menjumpai anak-anak yang menderita anemia dengan
pembesaran limpa setelah berusia 1 tahun. Selanjutnya, anemia ini dinamakan
anemia splenic atau eritroblastosis atau anemia mediteranean atau anemia Cooley
sesuai dengan nama penemunya.(jurnal umum,2010)
Thalasemia merupakan penyakit
keturunan terbanyak di dunia. Data WHO tahun 2003 menyebutkan 250 juta penduduk
dunia (4,5%) membawa genetik Thalasemia. Presentasi klinis Thalasemia di
seluruh dunia mencapai 15 juta orang. Fakta ini mendukung Thalasemia sebagai
salah satu penyakit turunan yang terbanyak. (jurnal umum, 2010)
Berdasarkan laporan World Health Organization (WHO) tahun
2006 sekitar 7% penduduk dunia diduga carrier Thalasemia, dan sekitar
300.000-500.000 bayi lahir dengan kelainan ini setiap tahunnya. Thalasemia
tidak hanya ditemukan di sekitar Laut Tengah, tetapi juga di Asia Tenggara yang
sering disebut sabuk Thalasemia.(jurnal umum, 2010)
Menurut hasil Riset Kesehatan Dasar
tahun 2007 menunjukkan prevalensi nasional Thalasemia di Indonesia adalah 0,1%.
Terdapat 6 provinsi yang menunjukkan prevalensi Thalasemia lebih tinggi
daripada prevalensi nasional. Beberapa dari 6 provinsi itu antara lain adalah
Aceh dengan prevalensi 13,4%, Jakarta dengan prevalensi 12,3%, Sumatera Selatan
dengan prevalensi 5,4%, Sumatera Utara dengan prevalensi 3,71%, Gorontalo
dengan prevalensi 3,1%, dan Kepulauan Riau dengan prevalensi 3%.
Dengan adanya kejadian thalassemia
di Indonesia tersebut terutama di wilayah DKI Jakarta, maka peran perawat
sangat penting untuk dapat meningkatkan kesejahteraan kesehatan bagi penderita
thalassemia. Adapun peran perawat dalam asuhan keperawatan pada pasien
thalassemia, peran perawat adalah sebagai berikut :
1. Promotif,
yaitu perawat berperan sebagai mengutamakan kegiatan yang bersifat promosi
kesehatan pada penyakit thalassemia. Contohnya masyarakat mendapatkan
pendidikan kesehatan tentang penyakit thalassemia.
2. Preventif,
yaitu perawat berperan sebagai pencegahan terhadap suatu masalah kesehatan atau
penyakit yang berhubungan dengan penyakit thalassemia. Contohnya perawat dapat
memberikan informasi seperti menjaga makanan dengan baik.
3. Kuratif,
yaitu perawat berperan sebagai pengobatan yang ditujukan untuk penyembuhan
penyakit, pengurangan penderitaan akibat penyakit, pengendalian penyakit atau
pengendalian kecacatan agar kualitas pasien dapat terjaga seoptimal mungkin.
Contohnya perawat memberikan pengobatan secara teratur hasil kolaborasi dengan
dokter
4. Rehabilitatif,
yaitu peran perawat sebagai untuk mengembalikan bekas pasien ke dalam
masyarakat yang berguna untuk dirinya dan masyarakat semaksimal mungkin sesuai
dengan kemampuannya. Contohnya perawat memberikan penyuluhan kepada masyarakat
tentang penyakit thalasemia.
Dengan
kejadian tersebut maka kelompok mengambil judul Asuhan Keperawatan pada pasien
thalasemia, dan untuk mengetahui konsep dari penyakit thalasemia serta asuhan
keperawatannya.
B.
Rumusan
Masalah
1. Apa
pengertian thalassemia ?
2. Apa
penyebab dari thalassemia ?
3. Apa
tanda dan gejala dari thalassemia ?
4. Bagaimana
pemeriksaan laboratorium pada penderita thalassemia ?
5. Bagaimana
penatalaksanan dan pencegahan pada penderita thalassemia ?
6. Bagaimana
asuhan keperawatan pada pasien thalassemia ?
C.
Tujuan
Penulisan
1. Dapat
mengetahui pengertian dari thalasemia
2. Dapat
mengetahui penyebab dari penderita thalasemiaa
3. Dapat
mengetahui tanda dan gejala klinis dari penderita thalassemia
4. Dapat
mengetahui pemeriksaan laboratorium pada penderita thalasemia
5. Dapat
mengetahui penatalaksanaan dan pencegahan pada penderita thalasemia
6. Dapat
melakukan asuhan keperawatan pada pasien thalassemia
D.
Manfaat
Penulisan
1. Pelayanan
kesehatan
Sebagai
bahan informasi dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien thalasemia
sehingga dapat meningkatkan mutu pelayanan kesehatan khususnya rumah sakit
2. Untuk
pendidikan
Sebagai
pengetahuan atau sumber informasi bagi tenaga kesehatan dalam memberikan asuhan
keperawatan pada pasien dengan penyakit thalasemia
3. Untuk
pasien/masyarakat
Sebagai
bahan informasi bagi populasi yang beresiko ataupun carrier thalasemia agar
dapat melakukan pencegahan
4. Untuk
penulis
Sebagai
sarana bagi penulis untuk menambah wawasan mengenai thalasemia
E.
Sistematika
Penulisan
BAB I : Pendahuluan, meliputi latar
belakang, rumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, sistematika
penulisan
BAB II: tinjauan teori, meliputi
pengertian thalasemia, klasifikasi thalasemia, etiologi, patofisiologi, gejala
klinis, komplikasi, pemeriksaan penunjang, pencegahan, penatalaksanaan medis
BAB III: asuhan keperawatan,
meliputi pengkajian, diagnose keperawatan, rencana keperawatan
BAB IV: penutup, meliputi
kesimpulan dan saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB II
TINJAUAN TEORI
A.
Pengertian
Thalasemia
Thalasemia adalah kelainan
kongenital, anomali pada eritropoeisis yang diturunkan dimana hemoglobin dalam eritrosit
sangat berkuarang, oleh karenanya akan terbentuk eritrosit yang relatif
mempunyai fungsi yang sedikit berkurang (Supardiman, 2002).
Thalasemia merupakan kelompok
kelainan genetik heterogen yang timbul akibat berkurangnya kecepatan sintesis
rantai alpha atau beta (Hoffbrand, 2005).
Thalasemia adalah penyakit kelainan
darah yang ditandai dengan kondisi sel darah merah mudah rusak atau umurnya
lebih pendek dari sel darah normal (120 hari). (Ganie, 2004).
Nama Thalassemia berasal dari
gabungan dua kata Yunani yaitu thalassa yang berarti lautan dan
anaemia (“weak blood”). Perkataan Thalassa digunakan karena gangguan
darah ini pertama kali ditemui pada pasien yang berasal dari negara-negara
sekitar Mediterranean (TIF, 2010). Istilah Thalassemia sekarang digunakan pada
kelompok hemoglobinopati yang diklasifikasi berdasarkan rantai globin spesifik
di mana sintesisnya terganggu (Chen, 2006).
Menurut Setianingsih (2008),
Talasemia merupakan penyakit genetik yang menyebabkan gangguan sintesis rantai
globin, komponen utama molekul hemoglobin (Hb).
Thalasemia adalah kelompok dari
anemia herediter yang diakibatkan oleh berkurang nya sintesis salah satu rantai
globin yang mengkombinasikan hemoglobin (HbA, α 2 β 2). Disebut
hemoglobinopathies, tidak terdapat perbedaan kimia dalam hemoglobin. Nolmalnya
HbA memiliki rantai polipeptida α dan β, dan yang paling penting thalasemia
dapat ditetapkan sebagai α - atau β –thalassemia (Rudolph et al,
2002).
B.
Klasifikasi
Thalasemia
Hemoglobin terdiri dari rantaian globin
dan hem tetapi pada Thalassemia terjadi gangguan produksi rantai α atau β. Dua
kromosom 11 mempunyai satu gen β pada setiap kromosom (total dua gen β)
sedangkan dua kromosom 16 mempunyai dua gen α pada setiap kromosom (total empat
gen α). Oleh karena itu satu protein Hb mempunyai dua subunit α dan dua subunit
β. Secara normal setiap gen globin α memproduksi hanya separuh dari kuantitas
protein yang dihasilkan gen globin β, menghasilkan produksi subunit protein
yang seimbang. Thalassemia terjadi apabila gen globin gagal, dan produksi
protein globin subunit tidak seimbang. Abnormalitas pada gen globin α akan
menyebabkan defek pada seluruh gen, sedangkan abnormalitas pada gen rantai
globin β dapat menyebabkan defek yang menyeluruh atau parsial (Wiwanitkit,
2007).
Thalassemia diklasifikasikan
berdasarkan rantai globin mana yang mengalami defek, yaitu Thalassemia α dan
Thalassemia β. berbagai defek secara delesi dan nondelesi dapat menyebabkan
Thalassemia (Rodak, 2007).
1. Thalassemia
α
Oleh
karena terjadi duplikasi gen α (HBA1 dan HBA2) pada kromosom 16, maka akan
terdapat total empat gen α (αα/αα). Delesi gen sering terjadi pada Thalassemia
α maka terminologi untuk Thalassemia α tergantung terhadap delesi yang terjadi,
apakah pada satu gen atau dua gen. Apabila terjadi pada dua gen, kemudian
dilihat lokai kedua gen yang delesi berada pada kromosom yang sama (cis) atau
berbeda (trans). Delesi pada satu gen α dilabel α+ sedangkan pada dua gen
dilabel αo (Sachdeva, 2006).
a. Delesi
satu gen α / silent carrier/ (-α/αα)
Kehilangan satu gen memberi sedikit
efek pada produksi protein α sehingga secara umum kondisinya kelihatan normal
dan perlu pemeriksaan laboratorium khusus untuk mendeteksinya. Individu
tersebut dikatakan sebagai karier dan bisa menurunkan kepada anaknya
(Wiwanitkit, 2007).
b. Delesi
dua gen α / Thalassemia α minor (--/αα) atau (-α/-α)
Tipe ini menghasilkan kondisi
dengan eritrosit hipokromik mikrositik dan anemia ringan. Individu dengan tipe
ini biasanya kelihatan dan merasa normal dan mereka merupakan karier yang bisa
menurunkan gen kepada anak (Wiwanitkit, 2007).
c. Delesi
3 gen α / Hemoglobin H (--/-α)
Pada tipe ini penderita dapat
mengalami anemia berat dan sering memerlukan transfusi darah untuk hidup.
Ketidakseimbangan besar antara produksi rantai α dan β menyebabkan akumulasi
rantai β di dalam eritrosit menghasilkan generasi Hb yang abnormal yaitu
Hemoglobin H (Hb H/ β4) (Wiwanitkit, 2007).
d. Delesi
4 gen α / Hemoglobin Bart (--/--)
Tipe ini adalah paling berat,
penderita tidak dapat hidup dan biasanya meninggal di dalam kandungan atau
beberapa saat setelah dilahirkan, yang biasanya diakibatkan oleh hydrop
fetalis. Kekurangan empat rantai α menyebabkan kelebihan rantai γ (diproduksi
semasa kehidupan fetal) dan rantai β menghasilkan masing-masing hemoglobin yang
abnormal yaitu Hemoglobin Barts (γ4 / Hb Bart, afiniti terhadap oksigen sangat
tinggi) (Wiwanitkit, 2007) atau Hb H (β4, tidak stabil) (Sachdeva, 2006).
2. Thalasemia
β
Thalassemia
β disebabkan gangguan pada gen β yang terdapat pada kromosom 11 (Rodak, 2007).
Kebanyakkan dari mutasi Thalassemia β disebabkan point
mutation dibandingkan akibat delesi gen (Chen, 2006). Penyakit ini
diturunkan secara resesif dan biasanya hanya terdapat di daerah tropis dan
subtropis serta di daerah dengan prevalensi malaria yang endemik (Wiwanitkit,
2007).
a. Thalassemia
βo
Tipe ini disebabkan tidak ada
rantai globin β yang dihasilkan (Rodak, 2007). Satu pertiga penderita
Thalassemia mengalami tipe ini (Chen, 2006).
b. Thalassemia
β+
Pada kondisi ini, defisiensi
partial pada produksi rantai globin β terjadi. Sebanyak 10-50% dari sintesis
rantai globin β yang normal dihasilkan pada keadaan ini (Rodak, 2007).
Secara
klinis, Thalassemia β dikategori kepada:
1) Thalassemia
β minor / Thalassemia β trait(heterozygous) / (β+β) or (βoβ)
2) Salah
satu gen adalah normal (β) sedangkan satu lagi abnormal, sama ada β+ atau βo.
Individu dengan Thalassemia ini biasanya tidak menunjukkan simptom dan biasanya
terdeteksi sewaktu pemeriksaan darah rutin. Meskipun terdapat
ketidakseimbangan, kondisi yang terjadi adalah ringan karena masih terdapat
satu gen β yang masih berfungsi secara normal dan formasi kombinasi αβ yang
normal masih bisa terjadi (Wiwanitkit, 2007). Anemia yang terjadi adalah
mikrositik, hipokrom dan hemolitik (Rodak, 2007). Penurunan ringan pada
sistesis rantai globin β menurunkan produksi hemoglobin. Rantai α yang
berlebihan diseimbangkan oleh peningkatan produksi rantai δ di mana keduanya
akan berikatan membentuk HbA2 / α2δ2 (3.5-8%). Individu tersebut sepenuhnya
asimptomatik dan selain dari anemia ringan, tidak menunjukkan manifestasi
klinis yang lainnya (Sachdeva, 2006)
3) Thalassemia
β mayor / Cooley's Anemia (homozygous) (β+βo) or (βoβo) or (β+β+)
4) Pada
kondisi ini, kedua gen rantai β mengalami disfungsi (Wiwanitkit, 2007). HbA
langsung tidak ada pada βoβo dan menurun banyak pada β+β+. Penyakit ini
berhubungan dengan gagal tumbuh dan sering menyebabkan kematian pada remaja
(Motulsky, 2010). Anemia berat terjadi dan pasien memerlukan transfusi darah
(Rodak, 2007) dan gejala tersebut selalunya bermanifestasi pada 6 bulan
terakhir dari tahun pertama kehidupan atas akibat penukaran dari sistesis
rantai globin γ (Hb F/ α2γ2) kepada β (Hb A / α2β2) (Yazdani, 2011).
5) Thalassemia
β intermedia (β+/β+) atau (βo/β+)
6) Simptom
yang timbul biasanya antara Thalassemia minor dan mayor (Rodak, 2007).
Secara
umum, terdapat 2 (dua) jenis thalasemia yaitu : (NUCLEUS PRECISE, 2010)
a) Thalasemia
Mayor, karena sifat-sifat gen dominan. Thalasemia mayor merupakan penyakit yang
ditandai dengan kurangnya kadar hemoglobin dalam darah. Akibatnya, penderita
kekurangan darah merah yang bisa menyebabkan anemia. Dampak lebih lanjut,
sel-sel darah merahnya jadi cepat rusak dan umurnya pun sangat pendek, hingga
yang bersangkutan memerlukan transfusi darah untuk memperpanjang hidupnya.
Penderita thalasemia mayor akan tampak normal saat lahir, namun di usia 3-18
bulan akan mulai terlihat adanya gejala anemia. Selain itu, juga bisa muncul
gejala lain seperti jantung berdetak lebih kencang dan facies cooley. Faies
cooley adalah ciri khas thalasemia mayor, yakni batang hidung masuk ke dalam
dan tulang pipi menonjol akibat sumsum tulang yang bekerja terlalu keras untuk
mengatasi kekurangan hemoglobin. Penderita thalasemia mayor akan tampak
memerlukan perhatian lebih khusus. Pada umumnya, penderita thalasemia mayor
harus menjalani transfusi darah dan pengobatan seumur hidup. Tanpa perawatan
yang baik, hidup penderita thalasemia mayor hanya dapat bertahan sekitar 1-8
bulan. Seberapa sering transfusi darah ini harus dilakukan lagi-lagi tergantung
dari berat ringannya penyakit. Yang pasti, semakin berat penyakitnya, kian
sering pula si penderita harus menjalani transfusi darah.
b) Thalasemia
Minor, individu hanya membawa gen penyakit thalasemia, namun individu hidup
normal, tanda-tanda penyakit thalasemia tidak muncul. Walau thalasemia minor
tak bermasalah, namun bila ia menikah dengan thalasemia minor juga akan terjadi
masalah. Kemungkinan 25% anak mereka menerita thalasemia mayor. Pada garis
keturunan pasangan ini akan muncul penyakit thalasemia mayor dengan berbagai
ragam keluhan. Seperti anak menjadi anemia, lemas, loyo dan sering mengalami
pendarahan. Thalasemia minor sudah ada sejak lahir dan akan tetap ada di
sepanjang hidup penderitanya, tapi tidak memerlukan transfusi darah di sepanjang
hidupnya
Secara
molekuler talasemia dibedakan atas: (Behrman et al, 2004)
a) Talasemia a (gangguan
pembentukan rantai a)
b) Talasemia b (gangguan
pembentukan rantai b)
c) Talasemia b-d (gangguan
pembentukan rantai b dan d yang letak gen-nya diduga
berdekatan).
d) Talasemia d (gangguan
pembentukan rantai d)
C.
Etiologi
Thalassemia bukan penyakit menular
melainkan penyakit yang diturunkan secara genetik dan resesif. Penyakit ini
diturunkan melalui gen yang disebut sebagai gen globin beta yang terletak pada
kromosom 11. Pada manusia kromosom selalu ditemukan berpasangan. Gen globin
beta ini yang mengatur pembentukan salah satu komponen pembentuk hemoglobin.
Bila hanya sebelah gen globin beta yang mengalami kelainan disebut pembawa
sifat thalassemia-beta. Seorang pembawa sifat thalassemia tampak normal/sehat,
sebab masih mempunyai 1 belah gen dalam keadaan normal (dapat berfungsi dengan
baik). Seorang pembawa sifat thalassemia jarang memerlukan pengobatan. Bila
kelainan gen globin terjadi pada kedua kromosom, dinamakan penderita
thalassemia (Homozigot/Mayor). Kedua belah gen yang sakit tersebut berasal dari
kedua orang tua yang masing-masing membawa sifat thalassemia. Pada proses
pembuahan, anak hanya mendapat sebelah gen globin beta dari ibunya dan sebelah
lagi dari ayahnya. Bila kedua orang tuanya masing-masing pembawa sifat
thalassemia maka pada setiap pembuahan akan terdapat beberapa kemungkinan.
Kemungkinan pertama si anak mendapatkan gen globin beta yang berubah (gen
thalassemia) dari bapak dan ibunya maka anak akan menderita thalassemia.
Sedangkan bila anak hanya mendapat sebelah gen thalassemia dari ibu atau ayah
maka anak hanya membawa penyakit ini. Kemungkinan lain adalah anak mendapatkan
gen globin beta normal dari kedua orang tuanya.
Sedangkan menurut (Suriadi, 2001) Penyakit
thalassemia adalah penyakit keturunan yang tidak dapat ditularkan.banyak
diturunkan oleh pasangan suami isteri yang mengidap thalassemia dalam sel –
selnya/ Faktor genetik.
Jika kedua orang tua tidak
menderita Thalassaemia trait/pembawasifat Thalassaemia, maka tidak mungkin
mereka menurunkan Thalassaemia trait/pembawa sifat Thalassaemia atau
Thalassaemia mayor kepada anak-anak mereka. Semua anak-anak mereka akan
mempunyai darah yang normal.Apabila salah seorang dari orang tua menderita Thalassaemia
trait/pembawa sifat Thalassaemia sedangkan yang lainnya tidak, maka satu
dibanding dua (50%) kemungkinannya bahwa setiap anak-anak mereka akan menderita
Thalassaemia trait/pembawa sifat Thalassaemia, tidak seorang diantara anak-anak
mereka akan menderita Thalassaemia mayor. Orang dengan Thalassaemia
trait/pembawa sifat Thalassaemia adalah sehat, mereka dapat menurunkan
sifat-sifat bawaan tersebut kepada anak-anaknya tanpa ada yang mengetahui bahwa
sifat-sifat tersebut ada di kalangan keluarga mereka.
Apabila kedua orang tua menderita
Thalassaemia trait/pembawa sifat Thalassaemia, maka anak-anak mereka mungkin
akan menderita Thalassaemia trait/pembawa sifat Thalassaemia atau mungkin juga
memiliki darah yang normal, atau mereka mungkin juga menderita Thalassaemia
mayor
D.
Patofisiologi
Hemoglobin manusia terdiri dari
persenyawaan hem dan globin. Hem terdiri dari zat besi (atom Fe) sedangkan
globin suatu protein yang terdiri dari rantai polipeptida. Hemoglobin manusia
normal pada orang dewasa terdiri dari 2 rantai alfa (α) dan 2 rantai beta (β)
yaitu HbA (α2β2 = 97%), sebagian lagi HbA2 (α2δ2 = 2,5%) dan sisanya HbF (α2γ2)
kira-kira 0,5%.
Sintesa globin ini telah dimulai
pada awal kehidupan masa embrio di dalam kandungan sampai dengan 8 minggu
kehamilan dan hingga akhir kehamilan. Organ yang bertanggung jawab pada periode
ini adalah hati, limpa, dan sumsum tulang. Karena rantai globin merupakan suatu
protein maka sintesisnya dikendalikan oleh gen tertentu. Ada 2 kelompok gen
yang bertanggung jawab dalam proses pengaturannya, yaitu kluster gen globin-α
yang terletak pada lengan pendek autosom 16 (16 p 13.3) dan kluster gen
globin-β yang terletak pada lengan pendek autosom 11 (11 p 15.4). Kluster gen
globin-α secara berurutan mulai dari 5’ sampai 3’ yaitu gen 5’-ζ2-ψζ1-αψ2-αψ1-α2-α1-θ1-3’
(Evans et al., 1990). Sebaliknya kluster gen globin-β terdiri dari gen
5’-ε-Gγ-Aγ-ψβ-δ-β-3’.
Hemoglobin normal adalah terdiri
dari dari Hb-A dengan dua polipeptida rantai alpha dan dua rantai beta.
Pada beta thalasemia yaitu tidak adanya atau kurangnya rantai beta dalam
molekul hemoglobin, sehingga ada gangguan kemampuan eritrosit membawa
oksigen. Ada suatu kompensator yang meningkat dalam rantai alpha, tetapi rantai
beta memproduksi secara terus-menerus sehingga menghasilkan hemoglobin
defektif. Ketidakseimbangan polipeptida ini memudahkan ketidakstabilan
dan disintegrasi. Hal ini menyebabkan sel darah merah menjadi hemolisis dan
menimbulkan anemia dan atau hemosiderosis.
Kelebihan pada rantai alpha
ditemukan pada beta thalasemia dan kelebihan rantai beta dan gama ditemukan
pada alpha thalasemia. Kelebihan rantai polipeptida ini mengalami presippitasi
dalam sel eritrosit. Globin intra eritrosik yang mengalami presipitasi, yang
terjadi sebagai rantai polipeptida alpa dan beta, atau terdiri dari hemoglobin
tak stabil-badan Heinz, merusak sampul eritrosit dan menyebabkan hemolisis.
Reduksi dalam hemoglobin menstimulasi bone marrow memproduksi RBC yang lebih.
Dalam stimulasi yang konstan pada bone marrow, produksi RBC secara terus-menerus
pada suatu dasar kronik, dan dengan cepatnya destruksi RBC, menimbulkan tidak
adekuatnya sirkulasi hemoglobin. Kelebihan produksi dan destruksi RBC,
menimbulkan tidak adekuatnya sirkulasi hemoglobin. Kelebihan produksi dan
destruksi RBC menyebabkan bone marrow menjadi tipis dan mudah pecah atau rapuh.
Penyebab anemia pada talasemia
bersifat primer dan sekunder. Penyebab primer adalah berkurangnya sintesis Hb A
dan eritropoesis yang tidak efektif disertai penghancuran sel-sel eritrosit
intrameduler. Penyebab sekunder adalah karena defisiensi asam
folat,bertambahnya volume plasma intravaskuler yang mengakibatkan hemodilusi,
dan destruksi eritrosit oleh system retikuloendotelial dalam limfa dan hati.
Penelitian biomolekular menunjukkan adanya mutasi DNA pada gen sehingga
produksi rantai alfa atau beta dari hemoglobin berkurang.
Tejadinya hemosiderosis merupakan
hasil kombinasi antara transfusi berulang,peningkatan absorpsi besi dalam usus
karena eritropoesis yang tidak efektif, anemia kronis serta proses hemolisis.
1. Pathway
Kelainan
Genetik :
a. Gangguan
rantai peptida
b.
Kesalahan
letak asam amino polipeptida














Sumsum tulang di suplai dari
transfusi
Ketidakseimbangan
antara perubahan perfusi jaringan
suplay O2 dan kebutuhan
![]() |
![]() |
||||
![]() |
|||||
FE














Menjadi pertumbuhan `& perkembangan terganggu kelabu
Perubahan
nutrisi hematomegali
splenomegali
Gagal
jantung
E.
Gejala
Klinis
Kelainan genotip Talasemia
memberikan fenotip yang khusus, bervariasi, dan tidak jarang tidak sesuai
dengan yang diperkirakan (Atmakusuma, 2009).
Semua Talasemia memiliki gejala
yang mirip, tetapi beratnya bervariasi, tergantung jenis rantai asam amino yang
hilang dan jumlah kehilangannya (mayor atau minor). Sebagian besar penderita
mengalami anemia yang ringan, khususnya anemia hemolitik (Tamam, 2009)
Talasemia-β dibagi tiga sindrom
klinik ditambah satu sindrom yang baru ditentukan, yakni (1) Talasemia-β
minor/heterozigot: anemia hemolitik mikrositik hipokrom. (2) Talasemia-β
mayor/homozigot: anemia berat yang bergantung pada transfusi darah. (3)
Talasemia-β intermedia: gejala di antara Talasemia β mayor dan minor. Terakhir
merupakan pembawa sifat tersembunyi Talasemia-β (silent carrier) (Atmakusuma,
2009).
Empat sindrom klinik Talasemia-α
terjadi pada Talasemia-α, bergantung pada nomor gen dan
pasangan cis atau trans dan jumlah rantai-α yang
diproduksi. Keempat sindrom tersebut adalah pembawa sifat tersembunyi Talasemia-α
(silent carrier), Talasemia-α trait (Talasemia-α minor),
HbH diseases dan Talasemia-α homozigot (hydrops fetalis) (Atmakusuma,
2009).
Pada bentuk yang lebih berat,
khususnya pada Talasemia-β mayor, penderita dapat mengalami anemia karena
kegagalan pembentukan sel darah, pembesaran limpa dan hati akibat anemia yang
lama dan berat, perut membuncit karena pembesaran kedua organ tersebut, sakit
kuning (jaundice), luka terbuka di kulit (ulkus/borok), batu empedu, pucat,
lesu, sesak napas karena jantung bekerja terlalu berat, yang akan mengakibatkan
gagal jantung dan pembengkakan tungkai bawah. Sumsum tulang yang terlalu aktif
dalam usahanya membentuk darah yang cukup, bisa menyebabkan penebalan dan
pembesaran tulang, terutama tulang kepala dan wajah. Tulang-tulang panjang
menjadi lemah dan mudah patah. Anak-anak yang menderita talasemia akan tumbuh
lebih lambat dan mencapai masa pubertas lebih lambat dibandingkan anak lainnya
yang normal. Karena penyerapan zat besi meningkat dan seringnya menjalani
transfusi, maka kelebihanzat besi bisa terkumpul dan mengendap dalam otot
jantung, yang pada akhirnya bisa menyebabkan gagal jantung (Tamam, 2009).
Bayi baru lahir dengan talasemia
beta mayor tidak anemis. Gejala awalnya tidak jelas, biasanya menjadi lebih
berat dalam tahun pertama kehidupan dan pada kasus yang berat terjadi dalam
beberapa minggu setelah lahir. Anak tidak nafsu makan, diare, kehilangan lemak
tubuh dan dapat disertai demam berulang akibat infeksi. Anemia berat dan lama
biasanya menyebabkan pembesaran jantung. Terdapat hepatosplenomegali, ikterus
ringan mungkin ada. Terjadi perubahan pada tulang yang menetap, yaitu
terjadinya bentuk muka mongoloid akibat system eritropoesis yang hiperaktif.
Adanya penipisan tulang panjang, tangan dan kaki dapat menimbulkan fraktur
patologis. Kadang-kadang ditemukan epistaksis, pigmentasi kulit, koreng pada
tungkai, dan batu empedu.
Tanda
dan gejala lain dari thalasemia yaitu :
1. Thalasemia
Mayor:
a. Pucat
b. Lemah
c. Anoreksia
d. Sesak
napas
e. Peka
rangsang
f. Tebalnya
tulang kranial
g. Pembesaran
hati dan limpa / hepatosplenomegali
h. Menipisnya
tulang kartilago, nyeri tulang
i.
Disritmia
j.
Epistaksis
k. Sel
darah merah mikrositik dan hipokromik
l.
Kadar Hb kurang dari 5gram/100 ml
m. Kadar
besi serum tinggi
n. Ikterik
o. Peningkatan
pertumbuhan fasial mandibular; mata sipit, dasar hidung lebar dan datar.
2. Thalasemia
Minor
a. Pucat
b. Hitung
sel darah merah normal
c. Kadar
konsentrasi hemoglobin menurun 2 sampai 3 gram/ 100ml di bawah kadar normal Sel
darah merah mikrositik dan hipokromik sedang
F.
Komplikasi
Akibat anemia yang berat dan lama,
sering terjadi gagal jantung. Tranfusi darah yang berulang ulang dan proses
hemolisis menyebabkan kadar besi dalam darah sangat tinggi, sehingga di timbun
dalam berbagai jarigan tubuh seperti hepar, limpa, kulit, jantung dan lain
lain. Hal ini menyebabkan gangguan fungsi alat tersebut (hemokromatosis). Limpa
yang besar mudah ruptur akibat trauma ringan. Kadang kadang thalasemia disertai
tanda hiperspleenisme seperti leukopenia dan trompositopenia. Kematian terutama
disebabkan oleh infeksi dan gagal jantung (Hassan dan Alatas, 2002)
Hepatitis pasca transfusi biasa
dijumpai, apalagi bila darah transfusi telah diperiksa terlebih dahulu terhadap
HBsAg. Hemosiderosis mengakibatkan sirosis hepatis, diabetes melitus dan
jantung. Pigmentasi kulit meningkat apabila ada hemosiderosis, karena
peningkatan deposisi melanin (Herdata, 2008)
G.
Pemeriksaan
Penunjang
Diagnosis untuk Thalassemia
terdapat dua yaitu secara screening test dan definitive test.
1. Screening
test
Di
daerah endemik, anemia hipokrom mikrositik perlu diragui sebagai gangguan
Thalassemia (Wiwanitkit, 2007).
a. Interpretasi
apusan darah
Dengan apusan darah anemia
mikrositik sering dapat dideteksi pada kebanyakkan Thalassemia kecuali
Thalassemia α silent carrier. Pemeriksaan apusan darah rutin dapat membawa
kepada diagnosis Thalassemia tetapi kurang berguna untuk skrining.
b. Pemeriksaan osmotic
fragility (OF)
Pemeriksaan ini digunakan untuk
menentukan fragiliti eritrosit. Secara dasarnya resistan eritrosit untuk lisis
bila konsentrasi natrium klorida dikurangkan dikira. Studi yang dilakukan
menemui probabilitas formasi pori-pori pada membran yang regang bervariasi
mengikut order ini: Thalassemia < kontrol < spherositosis (Wiwanitkit,
2007). Studi OF berkaitan kegunaan sebagai alat diagnostik telah dilakukan dan
berdasarkan satu penelitian di Thailand, sensitivitinya adalah 91.47%,
spesifikasi 81.60, false positive rate 18.40% dan false negative
rate 8.53% (Wiwanitkit, 2007).
c. Indeks
eritrosit
Dengan bantuan alat indeks sel
darah merah dapat dicari tetapi hanya dapat mendeteksi mikrositik dan hipokrom
serta kurang memberi nilai diagnostik. Maka metode matematika dibangunkan
(Wiwanitkit, 2007).
d. Model
matematika
Membedakan anemia defisiensi besi
dari Thalassemia β berdasarkan parameter jumlah eritrosit digunakan. Beberapa
rumus telah dipropose seperti 0.01 x MCH x (MCV)², RDW x MCH x (MCV) ²/Hb x
100, MCV/RBC dan MCH/RBC tetapi kebanyakkannya digunakan untuk membedakan
anemia defisiensi besi dengan Thalassemia β (Wiwanitkit, 2007).
Sekiranya Indeks Mentzer = MCV/RBC
digunakan, nilai yang diperoleh sekiranya >13 cenderung ke arah defisiensi
besi sedangkan <13 mengarah ke Thalassemia trait. Pada penderita Thalassemia
trait kadar MCV rendah, eritrosit meningkat dan anemia tidak ada ataupun ringan.
Pada anemia defisiensi besi pula MCV rendah, eritrosit normal ke rendah dan
anemia adalah gejala lanjut (Yazdani, 2011).
2. Definitive
test
a. Elektroforesis
hemoglobin
Pemeriksaan ini dapat menentukan
pelbagai jenis tipe hemoglobin di dalam darah. Pada dewasa konstitusi normal
hemoglobin adalah Hb A1 95-98%, Hb A2 2-3%, Hb F 0.8-2% (anak di bawah 6 bulan
kadar ini tinggi sedangkan neonatus bisa mencapai 80%). Nilai abnormal bisa
digunakan untuk diagnosis Thalassemia seperti pada Thalassemia minor Hb A2
4-5.8% atau Hb F 2-5%, Thalassemia Hb H: Hb A2 <2% dan Thalassemia mayor Hb
F 10-90%. Pada negara tropikal membangun, elektroporesis bisa juga mendeteksi
Hb C, Hb S dan Hb J (Wiwanitkit, 2007).
b. Kromatografi
hemoglobin
Pada elektroforesis hemoglobin, HB
A2 tidak terpisah baik dengan Hb C.
Pemeriksaan menggunakan High Performance Liquid Chromatography (HPLC)
pula membolehkan penghitungan aktual Hb A2 meskipun terdapat kehadiran Hb C
atau Hb E. Metode ini berguna untuk diagnosa Thalassemia β karena ia bisa
mengidentifikasi hemoglobin dan variannya serta menghitung konsentrasi dengan
tepat terutama Hb F dan Hb A2 (Wiwanitkit, 2007).
c. Molecular
diagnosis
Pemeriksaan ini adalah gold standard dalam mendiagnosis Thalassemia.Molecular
diagnosis bukan saja dapat menentukan tipe Thalassemia malah dapat
juga menentukan mutasi yang berlaku (Wiwanitkit, 2007).
H.
Pencegahan
Menurut Hoffbrand (2005) konseling
genetik penting dilakukan bagi pasangan yang berisiko mempunyai seorang anak
yang menderita suatu defek hemoglobin yang berat. Jika seorang wanita hamil
diketahui menderita kelainan hemoglobin, pasangannya harus diperiksa untuk
menentukan apakah dia juga membawa defek. Jika keduanya memperlihatkan adanya
kelainan dan ada resiko suatu defek yang serius pada anak (khususnya Talasemia-β
mayor) maka penting untuk menawarkan penegakkan diagnosis antenatal.
1. Penapisan
(Screening)
Ada
2 pendekatan untuk menghindari Talesemia:
a. Karena
karier Talasemia β bisa diketahui dengan mudah, penapisan populasi dan
konseling tentang pasangan bisa dilakukan. Bila heterozigot menikah, 1-4 anak
mereka bisa menjadi homozigot atau gabungan heterozigot.
b. Bila
ibu heterozigot sudah diketahui sebelum lahir, pasangannya bisa diperiksa dan
bila termasuk karier, pasangan tersebut ditawari diagnosis prenatal dan
terminasi kehamilan pada fetus dengan Talasemia β berat.
Bila populasi tersebut menghendaki
pemilihan pasangan, dilakukan penapisan premarital yang bisa dilakukan di
sekolah anak. Penting menyediakan program konseling verbal maupun tertulis
mengenai hasil penapisan Talasemia (Permono, & Ugrasena, 2006).
Alternatif lain adalah memeriksa
setiap wanita hamil muda berdasarkan ras. Penapisan yang efektif adalah ukuran
eritrosit, bila MCV dan MCH sesuai gambaran Talasemia, perkiraan kadar HbA2
harus diukur, biasanya meningkat pada Talasemia β. Bila kadarnya normal, pasien
dikirim ke pusat yang bisa menganalisis gen rantai α. Penting untuk membedakan
Talasemia αo(-/αα) dan Talasemia α+(-α/-α), pada kasus pasien tidak memiliki
risiko mendapat keturunan Talesemia αo homozigot. Pada kasus jarang dimana
gambaran darah memperlihatkan Talesemia β heterozigot dengan HbA2 normal dan
gen rantai α utuh, kemungkinannya adalah Talasemia α non delesi atau Talasemia
β dengan HbA2 normal. Kedua hal ini dibedakan dengan sintesis rantai globin dan
analisa DNA. Penting untuk memeriksa Hb elektroforase pada kasus-kasus ini
untuk mencari kemungkinan variasi struktural Hb (Permono, & Ugrasena,
2006).
2. Diagnosis
Prenatal
Diagnosis
prenatal dari berbagai bentuk Talasemia, dapat dilakukan dengan berbagai cara.
Dapat dibuat dengan penelitian sintesis rantai globin pada sampel darah janin
dengan menggunakan fetoscopi saat kehamilan 18-20 minggu, meskipun
pemeriksaan ini sekarang sudah banyak digantikan dengan analisis DNA janin. DNA
diambil dari sampel villi chorion (CVS=corion villus sampling), pada kehamilan
9-12 minggu. Tindakan ini berisiko rendah untuk menimbulkan kematian atau
kelainan pada janin (Permono, & Ugrasena, 2006).
Tehnik
diagnosis digunakan untuk analisis DNA setelah tehnik CVS, mengalami perubahan
dengan cepat beberapa tahun ini. Diagnosis pertama yang digunakan
oleh Southern Blotting dari DNA janin menggunakan restriction
fragment length polymorphism (RELPs), dikombinasikan dengan analisis
linkage atau deteksi langsung dari mutasi. Yang lebih baru, perkembangan
dari polymerase chain reaction (PCR) untuk mengidentifikasikan mutasi
yang merubah lokasi pemutusan oleh enzim restriksi. Saat ini sudah dimungkinkan
untuk mendeteksi berbagai bentuk α dan β dari Talasemia secara langsung dengan
analisis DNA janin. Perkembangan PCR dikombinasikan dengan kemampuan
oligonukleotida untuk mendeteksi mutasi individual, membuka jalan bermacam
pendekatan baru untuk memperbaiki akurasi dan kecepatan deteksi karier dan
diagnosis prenatal. Contohnya diagnosis menggunakan hibridasi dari ujung
oligonukleotida yang diberi label 32P spesifik untuk memperbesar region
gen globin β melalui membran nilon. Sejak sekuensi dari gen globin β dapat
diperbesar lebih 108 kali, waktu hibridasi dapat dibatasi sampai 1 jam dan
seluruh prosedur diselesaikan dalam waktu 2 jam (Permono, & Ugrasena,
2006).
Terdapat
berbagai macam variasi pendekatan PCR pada diagnosis prenatal. Contohnya,
tehnik ARMS (Amplification refractory mutation system), berdasarkan pengamatan bahwa
pada beberapa kasus, oligonukleotida (Permono, & Ugrasena, 2006).
Angka
kesalahan dari berbagai pendekatan laboratorium saat ini, kurang dari 1%.
Sumber kesalahan antara lain, kontaminasi ibu pada DNA janin, non-paterniti,
dan rekombinasi genetik jika menggunakan RELP linkage
analysis (Permono, & Ugrasena, 2006).
Menurut
Tamam (2009), karena penyakit ini belum ada obatnya, maka pencegahan dini
menjadi hal yang lebih penting dibanding pengobatan. Program pencegahan
Talasemia terdiri dari beberapa strategi, yakni (1) penapisan (skrining)
pembawa sifat Talasemia, (2) konsultasi genetik (genetic counseling), dan (3)
diagnosis prenatal. Skrining pembawa sifat dapat dilakukan secara prospektif
dan retrospektif. Secara prospektif berarti mencari secara aktif pembawa sifat
thalassemia langsung dari populasi diberbagai wilayah, sedangkan secara
retrospektif ialah menemukan pembawa sifat melalui penelusuran keluarga
penderita Talasemia (family study). Kepada pembawa sifat ini diberikan
informasi dan nasehat-nasehat tentang keadaannya dan masa depannya. Suatu
program pencegahan yang baik untuk Talasemia seharusnya mencakup kedua
pendekatan tersebut. Program yang optimal tidak selalu dapat dilaksanakan
dengan baik terutama di negara-negara sedang berkembang, karena pendekatan
prospektif memerlukan biaya yang tinggi. Atas dasar itu harus dibedakan antara
usaha program pencegahan di negara berkembang dengan negara maju. Program
pencegahan retrospektif akan lebih mudah dilaksanakan di negara berkembang
daripada program prospektif.
I.
Penatalaksanaan
Medis
Menurut (Suriadi, 2001)
Penatalaksaan Medis Thalasemia antara lain :
1. Pemberian
transfusi hingga Hb mencapai 9-10g/dl. Komplikasi dari pemberian transfusi
darah yang berlebihan akan menyebabkan terjadinya penumpukan zat besi yang
disebut hemosiderosis. Hemosiderosis ini dapat dicegah dengan pemberian
deferoxamine (Desferal), yang berfungsi untuk mengeluarkan besi dari dalam
tubuh (iron chelating agent). Deferoxamine diberikan secar intravena,
namun untuk mencegah hospitalisasi yang lama dapat juga diberikan secara
subkutan dalam waktu lebih dari 12 jam.
2. Splenectomy
: dilakukan untuk mengurangi penekanan pada abdomen dan meningkatkan rentang
hidup sel darah merah yang berasal dari suplemen (transfusi).
3. Pada
thalasemia yang berat diperlukan transfusi darah rutin dan pemberian tambahan
asam folat. Penderita yang menjalani transfusi, harus menghindari tambahan zat
besi dan obat-obat yang bersifat oksidatif (misalnya sulfonamid), karena zat
besi yang berlebihan bisa menyebabkan keracunan. Pada bentuk yang sangat
berat, mungkin diperlukan pencangkokan sumsum tulang. Terapi genetik masih
dalam tahap penelitian.
Penatalaksaan
Medis Thalasemia antara lain: (Rudolph, 2002; Hassan dan Alatas, 2002;
Herdata, 2008)
1. Medikamentosa
Pemberian
iron chelating agent (desferoxamine): diberikan setelah kadar feritin serum
sudah mencapai 1000 mg/l atau saturasi transferin lebih 50%, atau sekitar 10-20
kali transfusi darah. Desferoxamine, dosis 25-50 mg/kg berat badan/hari
subkutan melalui pompa infus dalam waktu 8-12 jam dengan minimal selama 5 hari
berturut setiap selesai transfusi darah.
a. Vitamin
C 100-250 mg/hari selama pemberian kelasi besi, untuk meningkatkan efek kelasi
besi.
b. Asam
folat 2-5 mg/hari untuk memenuhi kebutuhan yang meningkat.
c. Vitamin
E 200-400 IU setiap hari sebagai antioksidan dapat memperpanjang umur sel darah
merah
2. Bedah
Splenektomi,
dengan indikasi:
a. limpa
yang terlalu besar, sehingga membatasi gerak penderita, menimbulkan peningkatan
tekanan intraabdominal dan bahaya terjadinya rupture.
b. hipersplenisme
ditandai dengan peningkatan kebutuhan transfusi darah atau kebutuhan suspensi
eritrosit (PRC) melebihi 250 ml/kg berat badan dalam satu tahun.
c. Transplantasi
sumsum tulang telah memberi harapan baru bagi penderita thalasemia dengan lebih
dari seribu penderita thalasemia mayor berhasil tersembuhkan dengan tanpa
ditemukannya akumulasi besi dan hepatosplenomegali. Keberhasilannya lebih
berarti pada anak usia dibawah 15 tahun. Seluruh anak anak yang memiliki
HLA-spesifik dan cocok dengan saudara kandungnya di anjurkan untuk melakukan
transplantasi ini.
3. Suportif
Tranfusi
Darah : Hb penderita dipertahankan antara 8 g/dl sampai 9,5 g/dl. Dengan kedaan
ini akan memberikan supresi sumsum tulang yang adekuat, menurunkan tingkat
akumulasi besi, dan dapat mempertahankan pertumbuhan dan perkembangan
penderita. Pemberian darah dalam bentuk PRC (packed red cell), 3 ml/kg BB untuk
setiap kenaikan Hb 1 g/dl.
J.
Discharge
Planning
1. Istirahat
cukup
2. Makan
makanan yang banyak mengandung vitamin dan menjalani diet dengan gizi seimbang
3. Makan
makanan yang tinggi asam folat dan vitamin B12, seperti ikan, produk susu,
daging, kacang-kacangan, sayuran berwarna hijau tua, jeruk, dan biji-bijian
4. Berikan
dukungan pada anak untuk melakukan kegiatan sehari-hari sesuai dengan kemampuan
anak
5. Menjelaskan
dan memberikan rekomendasi kepada sekolah tentang kemampuan anak dalam
melakukan aktivitas, memonitor kemampuan melakukan aktivitas secara berkala dan
menjelaskan kepada orang tua dan sekolah
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
1. Asal
keturunan/kewarganegaraan
Thalasemia
banyak dijumpai pada bangsa disekitar laut tengah (mediterania). Seperti turki,
yunani, Cyprus, dll. Di Indonesia sendiri, thalassemia cukup banyak dijumpai
pada anak, bahkan merupakan penyakit darah yang paling banyak diderita.
2. Umur
Pada
thalasemia mayor yang gejala klinisnya jelas, gejala tersebut telah terlihat
sejak anak berumur kurang dari 1 tahun. Sedangkan pada thalasemia minor yang
gejalanya lebih ringan, biasanya anak baru datang berobat pada umur sekitar 4 –
6 tahun.
3. Riwayat
kesehatan anak
Anak
cenderung mudah terkena infeksi saluran napas bagian atas infeksi lainnya. Hal
ini mudah dimengerti karena rendahnya Hb yang berfungsi sebagai alat transport.
4. Pertumbuhan
dan perkembangan
Sering
didapatkan data mengenai adanya kecenderungan gangguan terhadap tumbuh kembang
sejak anak masih bayi, karena adanya pengaruh hipoksia jaringan yang bersifat
kronik. Hal ini terjadi terutama untuk thalassemia mayor. Pertumbuhan fisik
anak adalah kecil untuk umurnya dan ada keterlambatan dalam kematangan seksual,
seperti tidak ada pertumbuhan rambut pubis dan ketiak. Kecerdasan anak juga
dapat mengalami penurunan. Namun pada jenis thalasemia minor sering terlihat
pertumbuhan dan perkembangan anak normal.
5. Pola
makan
Karena
adanya anoreksia, anak sering mengalami susah makan, sehingga berat badan anak
sangat rendah dan tidak sesuai dengan usianya.
6. Pola
aktivitas
Anak
terlihat lemah dan tidak selincah anak usianya. Anak banyak tidur / istirahat,
karena bila beraktivitas seperti anak normal mudah merasa lelah
7. Riwayat
kesehatan keluarga
Karena
merupakan penyakit keturunan, maka perlu dikaji apakah orang tua yang menderita
thalassemia. Apabila kedua orang tua menderita thalassemia, maka anaknya
berisiko menderita thalas
semia
mayor. Oleh karena itu, konseling pranikah sebenarnya perlu dilakukan karena
berfungsi untuk mengetahui adanya penyakit yang mungkin disebabkan karena
keturunan.
8. Riwayat
ibu saat hamil (Ante Natal Core – ANC)
Selama
Masa Kehamilan, hendaknya perlu dikaji secara mendalam adanya faktor risiko
thalassemia. Sering orang tua merasa bahwa dirinya sehat. Apabila diduga faktor
resiko, maka ibu perlu diberitahukan mengenai risiko yang mungkin dialami oleh
anaknya nanti setelah lahir. Untuk memestikan diagnosis, maka ibu segera
dirujuk ke dokter.
9. Data
keadaan fisik anak thalassemia yang sering didapatkan diantaranya adalah:
a. Keadaan
umum
Anak biasanya terlihat lemah dan
kurang bergairah serta tidak selincah aanak seusianya yang normal.
b. Kepala
dan bentuk muka
Anak yang belum/tidak mendapatkan
pengobatan mempunyai bentuk khas, yaitu kepala membesar dan bentuk mukanya
adalah mongoloid, yaitu hidung pesek tanpa pangkal hidung, jarak kedua mata
lebar, dan tulang dahi terlihat lebar.
c. Mata
dan konjungtiva terlihat pucat kekuningan
d. Mulut
dan bibir terlihat pucat kehitaman
e. Dada
Pada inspeksi terlihat bahwa dada
sebelah kiri menonjol akibat adanya pembesaran jantung yang disebabkan oleh
anemia kronik.
f. Perut
Kelihatan membuncit dan pada
perabaan terdapat pembesaran limpa dan hati ( hepatosplemagali).
g. Pertumbuhan
fisiknya terlalu kecil untuk umurnya dan BB nya kurang dari normal. Ukuran
fisik anak terlihat lebih kecil bila dibandingkan dengan anak-anak lain
seusianya.
h. Pertumbuhan
organ seks sekunder untuk anak pada usia pubertas
Ada keterlambatan kematangan seksual, misalnya, tidak adanya pertumbuhan rambut pada ketiak, pubis, atau kumis. Bahkan mungkin anak tidak dapat mencapai tahap adolesense karena adanya anemia kronik.
Ada keterlambatan kematangan seksual, misalnya, tidak adanya pertumbuhan rambut pada ketiak, pubis, atau kumis. Bahkan mungkin anak tidak dapat mencapai tahap adolesense karena adanya anemia kronik.
i.
Kulit
Warna kulit pucat kekuning- kuningan. Jika anak telah sering mendapat transfusi darah, maka warna kulit menjadi kelabu seperti besi akibat adanya penimbunan zat besi dalam jaringan kulit (hemosiderosis).
Warna kulit pucat kekuning- kuningan. Jika anak telah sering mendapat transfusi darah, maka warna kulit menjadi kelabu seperti besi akibat adanya penimbunan zat besi dalam jaringan kulit (hemosiderosis).
B. Diagnosa Keperawatan
1. Ketidakefektifan
perfusi jaringan berhubungan dengan berkurangnya komponen seluler yang
menghantarkan oksigen/nutrisi
2. Intoleransi
aktifitas b.d tidak seimbangnya kebutuhan dan suplai oksigen
3. Ketidakseimbangan
nitrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d anoreksia
4. Kelelahan
b.d malnutrisi, kondisi sakit
5. PK:
Perdarahan
6. Nyeri
b.d penyakit kronis
7. Kecemasan
(orang tua) b.d kurang pengetahuan
No
|
DIAGNOSA
|
RENCANA
KEPERAWATAN
|
|
TUJUAN
|
INTERVENSI
|
||
1.
|
Ketidakefektifan
perfusi jaringan b.d berkurangnya komponen
seluler yang menghantarkan oksigen/nutrisi
|
NOC
· Perfusi
Jaringan : Perifer
· Status
sirkulasi
Kriteria Hasil:
· Klien
menunjukkan perfusi jaringan yang adekuat yang ditunjukkan dengan
terabanya nadi perifer, kulit kering dan hangat, keluaran urin adekuat, dan
tidak ada distres pernafasan.
|
NIC
1.Monitor
Tanda Vital
Definisi: Mengumpulkan dan
menganalisis sistem kardiovaskuler, pernafasan dan suhu untuk
menentukan dan mencegah komplikasi
Aktifitas:
1.Monitor
tekanan darah , nadi, suhu dan RR tiap 6 jam atau sesuai indikasi
2.Monitor
frekuensi dan irama pernapasan
3.Monitor
pola pernapasan abnormal
4.Monitor
suhu, warna dan kelembaban kulit
5.Monitor
sianosis perifer
2. Monitor
status neurologi
Definisi: Mengumpulkan dan
menganalisis data pasien untuk meminimalkan dan mencegah komplikasi neurologi
Aktifitas:
1.Monitor
ukuran, bentuk, simetrifitas, dan reaktifi-tas pupil
2.Monitor tingkat
kesada-ran klien
3.Monitor
tingkat orientasi
4.Monitor
GCS
5.Monitor
respon pasien terhadap pengobatan
6.Informasikan
pada dokter tentang perubahan kondisi pasien
3. Manajemen
cairan
Definisi:
Mempertahankan keseimbangan cairan dan mencegah komplikasi akibat kadar
cairan yang abnormal.
Aktifitas:
1.Mencatat
intake dan output cairan
2.Kaji
adanya tanda-tanda dehidrasi (turgor kulit jelek, mata cekung, dll)
3.Monitor
status nutrisi
4.Persiapkan
pemberian transfusi ( seperti mengecek darah dengan identitas pasien,
menyiapkan terpasangnya alat transfusi)
5.Awasi
pemberian komponen darah/transfuse
6.Awasi
respon klien selama pemberian komponen darah
7.Monitor
hasil laboratorium (kadar Hb, Besi serum, angka trombosit)
|
2.
|
Intoleransi aktifitas
b.d tidak seimbangnya kebutuhan dan suplai oksigen
|
NOC
· Konservasi
Energi
· Perawatan Diri:
ADL
Kriteria Hasil:
· Klien
dapat melakukan aktifitas yang dianjurkan dengan tetap mempertah-ankan
tekanan darah, nadi, dan frekuensi pernafasan dalam rentang normal
|
NIC
1. Manajemen
energy
Definisi: Mengatur penggunaan
energi untuk mencegah kelelahan dan mengoptimalkan fungsi
Aktifitas:
1. Tentukan keterbatasan
aktifitas fisik pasien
2. Kaji
persepsi pasien tentang penyebab kelelahan yang dialaminya
3. Dorong pengungkapan
pera-san klien tentang adanya kelemahan fisik
4. Monitor
intake nutrisi untuk meyakinkan sumber energi yang cukup
5. Konsultasi
dengan ahli gizi tentang cara peningkatan energi melalui makanan
6. Monitor respon kardiopulmonari
terhadap aktifitas (seperti takikardi, dispnea, disritmia, diaporesis,
frekuensi pernafasan, warna kulit, tekanan darah)
7. Monitor
pola dan kuantitas tidur
8. Bantu
pasien menjadwalkan istirahat dan aktifitas
9. Monitor
respon oksigenasi pasien selama aktifitas
10.
Ajari pasien untuk
mengenali tanda dan gejala kelelahan sehingga dapat mengurangi
aktifitasnya.
2. Terapi
Oksigen
Definisi: Mengelola pemberian
oksigen dan memonitor keefektifannya
Aktifitas:
1.Bersihkan
mulut, hidung, trakea bila ada secret
2.Pertahankan
kepatenan jalan nafas
3.Atur
alat oksigenasi termasuk humidifier
4.Monitor
aliran oksigen sesuai program
5.Secara
periodik, monitor ketepatan pemasangan alat
|
3.
|
Ketidakseimbangan
nitrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d anoreksia
|
NOC
· Status Nutrisi:
Energi
· Kontrol
Berat Badan
Kriteria Hasil :
Klien menunjukkan
· Pencapaian
berat badan normal yang diharapkan
· Berat
badan sesuai dengan umur dan tinggi badan
· Bebas
dari tanda malnutrisi
|
NIC
Definisi: Membantu dan atau
menyediakan asupan makanan dan cairan yang seimbang
Aktifitas:
1. Tanyakan
pada pasien tentang alergi terhadap makanan
2. Tanyakan
makanan kesukaan pasien
3. Kolaborasi
dengan ahli gizi tentang jumlah kalori dan tipe nutrisi yang dibutuhkan
(TKTP)
4. Anjurkan
masukan kalori yang tepat yang sesuai dengan kebutuhan energy
5. Sajikan
diit dalam keadaan hangat
Definisi : Mengumpulkan dan
menganalisis data pasien untuk mencegah atau meminimalkan malnutrisi
Aktifitas:
1.Monitor
adanya penurunan BB
2.Ciptakan
lingkungan nyaman selama klien makan.
3.Jadwalkan
pengobatan dan tindakan, tidak selama jam makan.
4.Monitor
kulit (kering) dan perubahan pigmentasi
5.Monitor
turgor kulit
6.Monitor
mual dan muntah
7.Monitor
kadar albumin, total protein, Hb, kadar hematocrit
8.Monitor
kadar limfosit dan elektrolit
9.Monitor
pertumbuhan dan perkembangan.
|
4.
|
Kelelahan b.d
malnutrisi, kondisi sakit
|
NOC
· Konservasi
Energi
Kriteria Hasil: Klien
menunjukkan
· Istirahat
dan aktivitas seimbang
· Mengetahui
keterbatasanan energinya
· Mengubah
gaya hidup sesuai tingkat energy
· Memelihara
nutrisi yang adekuat
· Energi
yang cukup untuk beraktifitas
|
NIC
1. Manajemen
energy
Definisi: Mengatur penggunaan
energy untuk mencegah
kelela-han & mengoptimalkan fungsi
Aktifitas:
1. Tentukan
keterbatasan aktifitas fisik klien
2. Kaji
persepsi pasien tentang penyebab kelelahan
3. Dorong pengungkapan
perasaan tentang kelemahan fisik
4. Monitor
intake nutrisi untuk meyakinkan sumber energi yang cukup
5. Konsultasi
dengan ahli gizi tentang cara peningkatan energi melalui makanan
6. Monitor
respon kardiopumonari terhadap aktifitas (seperti takikardi, dispnea,
disritmia, diaporesis,frekuensi pernafasan, wwarna kulit, tekanan darah)
7. Monitor
pola dan kuantitas tidur
8. Bantu
klien menjadwalkan istirahat dan aktifitas
2. Terapi
Oksigen
Definisi: Mengelola pemberian
oksigen dan memonitor keefektifannya
Aktifitas:
1.Bersihkan
mulut, hidung, trakea bila ada secret
2.Pertahankan
kepatenan jalan nafas
3.Atur
alat oksigenasi termasuk humidifier
4.Monitor
aliran oksigen sesuai program
5.Secara
periodik, monitor ketepatan pemasangan alat
3. Manajemen
cairan
Definisi: Mempertahankan
keseimbangan cairan dan mencegah komplikasi akibat kadar cairan yang
abnormal.
Aktifitas:
1. Persiapkan
pemberian transfusi (seperti mengecek darah dengan identitas pasien,
menyiapkan terpasangnya alat transfusi)
2. Awasi
pemberian komponen darah/transfusi
3. Awasi
respon klien selama pemberian komponen darah
4. Monitor
hasil laboratorium (kadar Hb, Besi serum)
|
5.
|
PK:
Perdarahan
|
Mencegah/
meminimalkan terjadinya perdarahan
|
Aktifitas
1. Monitor
tanda-tanda perdarahan dan perubahan tanda vital
2. Monitor
hasil laboratoium, seperti Hb, angka trombosit, hematokrit, angka eritrosit,
dll
3.
Gunakan alat-alat yang aman untuk mencegah perdarahan
(sikat gigi yang lembut, dll)
(
|
6.
|
Nyeri
b.d penyakit kronis
|
NOC
· Mengontrol
Nyeri
· Menunjukkan
tingkat nyeri
Kriteria
Hasil: Klien dapat
· Mengenali
faktor penyebab
· Mengenali
lamanya (onset ) sakit
· Menggunakan
cara non analgetik untuk mengurangi nyeri
· Menggunakan
analgetik sesuai kebutuhan
|
NIC
1. Manajemen
nyeri
Definisi
: mengurangi nyeri dan menurunkan tingkat nyeri yang dirasakan pasien.
Aktfitas:
Lakukan
pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk tingkat nyeri ( dengan “face
scale”), lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, dan faktor presipitasi
Observasi
reaksi nonverbal
dari ketidaknyamanan pasien
(misalnya menangis, meringis, memegangi bagian tubuh yang nyeri, dll)
Gunakan
teknik komunikasi terapeutik untuk mengetahui pengalaman nyeri pasien
Jelaskan
pada pasien tentang nyeri yang dialaminya, seperti penyebab nyeri, berapa
lama nyeri mungkin akan dirasakan, metode sederhana untuk mengalihkan rasa
nyeri, dll.
Evaluasi
bersama pasien dan tim kesehatan lain tentang pengalaman nyeri dan ketidakefektifan
kontrol nyeri pada masa lampau
Atur
lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan, pencahayaan
dan kebisingan
Kurangi
faktor pencetus nyeri pada pasien
2.
Pemberian analgetik
Definisi: Penggunaan
agen farmakologi untuk menghentikan atau mengurangi nyeri.
Aktifitas:
Tentukan
lokasi, karakteristik, kualitas, dan derajat nyeri sebelum pemberian obat.
Cek
instruksi dokter tentang jenis obat, dosis, dan frekuensi
Cek
riwayat alergi pada pasien
Kolaborasi
pemilihan analgesik tergantung tipe dan beratnya nyeri, rute pemberian, dan
dosis optimal
Monitor
tanda vital sebelum dan sesudah pemberian analgesik
Kolaborasi
pemberian analgesik tepat waktu terutama saat nyeri hebat
Monitor
respon klien terhadap penggunaan analgetik
|
7.
|
Kecemasan
(orang tua) b.d kurang pengetahuan
|
NOC
:
· Kontrol
Kecemasan
Kriteria
Hasil :
· Klien
mampu mengidentifikasi dan mengungkapkan gejala cemas
· Mengidentifikasi,
mengungkapkan, dan menunjukkan teknik untuk mengontrol cemas
· Vital
sign (TD, nadi, respirasi) dalam batas normal
· Postur
tubuh, ekspresi wajah, bahasa tubuh, dan tingkat aktivitas menunjukkan
berkurangnya kecemasan.
· Menunjukkan
peningkatan konsentrasi dan akurasi dalam berpikir
|
NIC
1. Menurunkan
cemas
Definisi:
Meminimalkan rasa takut, cemas, merasa dalam bahaya atau ketidaknyamanan
terhadap sumber yang tidak diketahui.
Aktifitas:
1. Gunakan
pendekatan dengan konsep atraumatik care
2. Jangan
memberikan jaminan tentang prognosis penyakit
3. Jelaskan
semua prosedur dan dengarkan keluhan klien
4. Pahami
harapan pasien dalam situasi stres
5. Temani
pasien untuk memberikan keamanan dan mengurangi takut
6. Bersama
tim kesehatan, berikan informasi mengenai diagnosis, tindakan prognosis
7. Anjurkan
keluarga untuk menemani anak dalam pelaksanaan tindakan keperawatan
8. Lakukan
massage pada leher dan punggung, bila perlu
9. Bantu
pasien mengenal penyebab kecemasan
10. Dorong
pasien/keluarga untuk mengungkapkan perasaan, ketakutan, persepsi
tentang penyakit
11. Instruksikan
pasien menggunakan teknik relaksasi (sepert tarik napas
dalam, distraksi, dll)
12. Kolaborasi
pemberian obat untuk mengurangi kecemasan
|
D. Evaluasi
1. Tidak
adanya gangguan perfusi jaringan
2. Nutrisi
terpenuhi
3. Tidak
adanya gangguan intoleransi aktivitas
4. Berkurangnya
resiko tinggi infeksi
5. Bertambahnya
pengetahuan keluarga tentang thalasemia
6. Koping
keluarga efektif
BAB IV
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dengan
kata lain thalassemia merupakan penyakit anemia holitik, dimana terjadi
kerusakan sel darah merah di dalam
pembuluh darah sehingga umur eritrosit menjadi pendek (kurang dari 120 hari)
penyebab kerusakan tersebut adalah Hb
yang tidak normal sebagai akibat dari gangguan dalam pembentukan jumlah rantai
globin atau struktur Hb.
Secara
klinis thalassemia dibagi menjadi 2 bagian :
1. Thalassemia
minor
Thalassemia minor merujuk kepada
mereka yang mempunyai kecacatan gen talasemia tetapi tidak menunjukan
tanda-tanda talasemia au pembawa
2. Talasemia
mayor
Talasemia mayor merujuk kepada
mereka yang mempunyai baka talasemia sepenuhnya dan menunjukan tanda-tanda
talsemia
B.
Saran
1. Pelayanan
kesehatan
Sebagai bahan informasi dalam
memberikan asuhan keperawatan pada pasien thalasemia sehingga dapat
meningkatkan mutu pelayanan kesehatan khususnya rumah sakit
2. Untuk
pendidikan
Sebagai pengetahuan atau sumber
informasi bagi tenaga kesehatan dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien
dengan penyakit thalasemia
3. Untuk
pasien/masyarakat
Sebagai bahan informasi bagi
populasi yang beresiko ataupun carrier thalasemia agar dapat melakukan
pencegahan
4. Untuk
penulis
Sebagai sarana bagi penulis untuk
menambah wawasan mengenai thalasemia
DAFTAR
PUSTAKA
Supardiman,
I, 2002. Hematologi Klinik. Penerbit alumni bandung.
Hoffband,
A, dkk, 2005. Kapita selekta Hematologi. Penerbit buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Mansjoer,
arif, dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Edisi ke-3 Jilid 2.Media
Aesculapius Fkul.
Suriadi
S.Kep dan Yuliana Rita S.Kp, 2001, Asuhan Keperawatan Anak, Edisi I. PT Fajar
Interpratama : Jakarta.
Kuncara,
H.Y, dkk, 2002, Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner &
Suddarth, EGC, Jakarta
Marion
Johnson, dkk, 2000, Nursing Outcome Classifications (NOC), Mosby
Year-Book, St. Louis
Marjory
Gordon, dkk, 2001, Nursing Diagnoses: Definition & Classification
2001-2002, NANDA.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar