PAPER KMB I ( RESPIRASI )
Asuhan Keperawatan dengan Cor
Pulmonal

DISUSUN
:
Jenny
Apriyani (15019)
Kiky Apriliany (15021)
Mardiul Kuswa (15026)
Mike Fitriani (15028)
Sulistia Chaerunnisa (15041)
A.
Konsep
Medis
1.
Pengertian
Menurut Irman Sumantri (2009), Kor pulmonal
adalah terjadinya pembesaran dari jantung kanan (dengan atau tanpa gagal
jantung kiri) sebagai akibat dari penyakit yang mempengaruhi struktur atau
fungsi dari paru-paru atau vaskularisasinya.
Pulmonary heart disease adalah pembesaran ventrikel kanan (hipertrofi dan/atau dilatasi) yang terjadi akibat kelainan paru, kelainan dinding dada, atau kelainan pada kontrol pernafasan. Tidak termasuk di dalamnya kelainan jantung kanan yang terjadi akibat kelainan jantung kiri atau penyakit jantung bawaan.
Pulmonary heart disease dapat terjadi akut maupun kronik. Penyebab pulmonary heart disease akut tersering adalah emboli paru masif, sedangkan pulmonary heart disease kronik sering disebabkan oleh penyakit paru obstruktif kronik (PPOK). Pada pulmonary heart disease kronik umumnya terjadi hipertrofi ventrikel kanan, sedangkan pada pulmonary heart disease akut terjadi dilatasi ventrikel kanan.
Pulmonary heart disease adalah pembesaran ventrikel kanan (hipertrofi dan/atau dilatasi) yang terjadi akibat kelainan paru, kelainan dinding dada, atau kelainan pada kontrol pernafasan. Tidak termasuk di dalamnya kelainan jantung kanan yang terjadi akibat kelainan jantung kiri atau penyakit jantung bawaan.
Pulmonary heart disease dapat terjadi akut maupun kronik. Penyebab pulmonary heart disease akut tersering adalah emboli paru masif, sedangkan pulmonary heart disease kronik sering disebabkan oleh penyakit paru obstruktif kronik (PPOK). Pada pulmonary heart disease kronik umumnya terjadi hipertrofi ventrikel kanan, sedangkan pada pulmonary heart disease akut terjadi dilatasi ventrikel kanan.
Tidak semua pasien PPOK akan mengalami
pulmonary heart disease, karena banyak usaha pengobatan yang dilakukan untuk
mempertahankan kadar oksigen darah arteri mendekati normal sehingga dapat
mencegah terjadinya Hipertensi Pulmonal. Pada umumnya, makin berat gangguan
keseimbangan ventilasi perfusi, akan semakin mudah terjadi ganguan analisis gas
darah sehingga akan semakin besar terjadinya Hipertensi Pulmonal dan pulmonary
heart disease. Penyakit yang hanya mengenai sebagian kecil paru tidak akan
begitu mempengaruhi pertukaran gas antara alveoli dan kapiler sehingga jarang
menyebabkan terjadinya Hipertensi
Pulmonal dan pulmonary heart disease.
Tuberculosis yang mengenai kedua lobus paru secara luas akan menyebabkan
terjadinya fibrosis disertai gangguan fungsi paru sehingga menyebabkan
terjadinya pulmonary heart disease. Hipoventilasi alveoli sekunder akibat sleep
apnea syndrome tidak jarang disertai dengan Hipertensi Pulmonal dan pulmonary
heart disease Kronik.
2.
Anatomi Pernafasan
a.
Saluran pernafasan
bagian atas terdiri atas :
1)
Lubang hidung (cavum
nasalis)
Hidung dibentuk oleh tulang sejati (os) dan tulang rawan
(kartilago). Hidung dibentuk oleh sebagian tulang sejati, sisanya terdiri atas
kartilago dan jaringan ikat (connective tissue). Bagian dalam hidung merupakan
suatu lubang yang dipisahkan menjadi lubang kiri dan kanan oleh sekat (septum).
Rongga hidung mengandung rambut (fimbrie) yang berfungsi sebagai
penyaring (filter) kasar terhadap benda asing yang masuk. Pada permukaan
(mukosa) hidung terdapat epitel bersilia yang mengandung sel goblet. Sel tersebut
mengeluarkan lender sehingga dapat menangkap benda asing yang masuk ke dalam
saluran pernafasan. Kita dapat mencium aroma karena di dalam lubang hidung
terdapat reseptor. Reseptor bau terletak pada cibriform plate, didalamnya
terdapat ujung dari saraf krania I (nervous olfactorium)
Hidung berfungsi sebagai jalan nafas, pengatur
udara, pengatur kelembaban udara (humidifikasi), pengatur suhu, pelindung dan
penyaring udara, indra pencium, dan resonator suara. Fungsi hidung sebagai
pelindung dan penyaring dilakukan oleh vibrissa, lapisan lender, dan enzim
lozosim. Vibrissa adalah rambut vestibulum nasi yang bertugas sebagai penyaring
debu dan kotoran (partikel berukuran besar). Debu-debu kecil dan kotoran
(partikel kecil) yang masih dapat melewati vibrissa akan melekat pada lapisan
lender dan selanjutnya dikeluarkan oleh refleks bersin. Jika dalam udara masih
terdapat bakteri (partikel sangat kecil), maka enzim lizosim yang
menghancurkannya.
2) Sinus para nasal
Sinus para nasalis merupakan daerah yang
terbuka pada tulang kepala. Dinamakan sesuai dengan tulang tempat dia berada
yaitu sinus frontalis, sinus ethmoidalis, sinus sphenoidalis, dan sinus
maxilaris. Sinus berfungsi untuk :
a)
Membantu menghangatkan
dan humidifikasi
b)
Meringankan berat
tulang tengkorak
c)
Mengatur bunyi suara
manusia dengan ruang resonansi
3)
Faring
Faring merupakan pipa berotot berbentuk cerobong (+ 13 cm) yang letaknya bermula dari dasar
tengkorak sampai persambungannya dengan esophagus pada ketinggian tulang rawan
(kartilago) krikoid. Faring digunakan pada saat digestion (menelan) seperti
pada saat bernafas. Berdasarkan letaknya faring dibagi menjadi tiga yaitu
dibelakang hidung (nasi-faring), belakang mulut (oro-faring), dan belakang
(laringo-faring).
4)
Laring
Laring sering disebut dengan voice box dibentuk oleh struktur
epitrlium lined yang berhubungan dengan faring (di atas) dan trakea (di bawah).
Lring terletak di anterior tulang belakang (vertebra) ke-4 dan ke-6. Bagian
atas dari esophagus berada di posterior laring.
Fungsi utama laring adalah untuk pembetukan suara, sebagai
protek jalan nafas bawah dari benda asing dan untuk memfasilitasi proses
terjadinya batuk. Laring terdiri atas :
a)
Epiglotis : katup
kartilago yang menutup dan membuka selama menelan.
b)
Glotis : lubang antara
pita suara dan laring.
c)
Kartilago tiroid :
kartilago yang terbesar pada trachea, terdapat bagian yang membentuk jakun
(adams apple).
d)
Kartilago krikoid :
cicin kartilago yang utuh di laring (terletak di bawah kartilago tiroid).
e)
Kartilago aritenoid :
digunakan pada pergerakan pita suara bersama dengan kartilago tiroid.
f)
Pita suara : sebuah
ligament yang dikontrol oleh pergerakan otot yang menghasilkan suara dan
menempel pada lumen laring.
b.
Saluran pernafasan
bagian bawah (tracheobronchial tree) terdiri atas :
1)
Trachea
Trachea merupakan perpanjangan dari laring pada ketinggian
tulang vertebrae torakal ke-7 yang bercabang menjadi dua bronkus. Ujung cabang
trachea disebut carina. Trachea bersifat sangat fleksibel, berotot dan memiliki
panjang 12 cm dengan cincin kartilago berbentuk huruf C. pada cincin tersebut
terdapat epitel bersilia tegak yang mengandung banyak sel goblet yang
mensekresikan lender (mucus).
2)
Bronchus dan
bronkhiolus
Cabang bronchus kanan lebih pendek, lebih lebar, dan cenderung
lebih vertical daripada cabang yang kiri. Hal tersebut menyebabkan benda asing
lebih mudah masuk ke dalam cabang sebelah kanan daripada cabang bronchus
sebelah kiri.
Segmen dan subsegmen bronchus bercabang lagi dan berbentuk
seperti ranting masuk ke setiap paru-paru. Bronchus disusun oleh jaringan
kartilago sedangkan bronkiolus yang berakhir di alveoli tidak mengandung
kartilago. Tidak adanya kartilago menyebabkan bronkhiolus mampu menangkap
udara, namun juga dapat mengalami kolaps. Agar tidak kolaps, alveoli dilengkapi
dengan porus/lubang kecil yang terletak antar alveoli (kohn pores) yang
berfungsi untuk mencegah kolaps alveoli.
Saluran pernafasan mulai dari trakea sampai bronkiolus terminal
tidak mengalami pertukaran dan merupakan area yang dinamakan anatomical dead
space. Banyaknya udara yang berada dalam area tersebut adalah sebesar 150 ml.
awal dari proses pertukaran gas terjadi di bronkeolus respiratorius.
3)
Alveoli
Parenkim paru-paru merupakan area yang aktif
bekerja dari jaringan paru-paru. Parenkim tersebut mengandung berjuta-juta unit
alveolus. Alveolus merupakan kantong udara yang berukuran sangat kecil, dan
merupakan akhir dari bronkhiolus respiratorius sehingga memungkinkan pertukaran
O2 dan CO2. Seluruh dari unit alveoli terdiri dari bronkhiolus
respiratorius, duktus alveolus, dan alveolar sacs. Fungsi utama dari unit
alveolus adalah pertukaran O2 dan CO2 di antara kapiler
pulmoner dan alveoli.
4)
Paru-paru
Paru-paru terletak pada rongga dada, berbentuk
kerucut yang ujungnya berada di atas tulang iga pertama dan dasarnya berada
pada diafragma. Paru-paru kanan mempunyai tiga lobus sedangkan paru-paru kiri
mempunyai dua lobus. Kelima lobus tersebut dapat terlihat dengan jelas. Setiap
paru-paru terbagi lagi menjadi beberapa subbagian menjadi sekita sepuluh unit
terkecil yang disebut bronchopulmonary segments.
Paru-paru kanan dan kiri dipisahkan oleh ruang
yang sebut mediastinum. Jantung, aorta, vena cava, pembuluh paru-paru,
esophagus bagian dari trachea dan bronchus, serta kelenjar timus terdapat pada
mediastinum.
5)
Sirkulasi pulmoner
Suplai darah ke dalam paru-paru merupakan
suatu yang unik. Paru-paru mempunyai dua sumber suplai darah yaitu arteri
bronkhialis dan arteri pulmonalis. Sirkulasi bronchial menyediakan darah
teroksigenasi dari sirkulasi siatemik dan berfungsi memenuhi kebutuhan
metabolism jaringan paru-paru. Arteri bronkhialis berasal dari aorta torakalis
dan berjalan sepanjang dinding posterior bronchus. Vena bronkhialis akan
mengalirkan darah menuju vena pulmonalis.
6)
Kendali pernafasan
Fungsi mekanik pergerakan udara masuk dan
keluar dari paru-pau dinamakan ventilasi. Mekanisme tersebut dilaksanakan oleh
sejumlah komponen factor yang saling berinteraksi. Factor tersebut mengendalikan
proses masuknya udara ke dalam paru-paru agar pertukaran gas dapat berlangsung.
Factor yang dapat mengendalikan pernafasan adalah :
7)
Factor local
Kondisi paru itu sendiri dan dinding dada yang
mengelilingi paru-paru, dimana keduanya berperan dalam pompa resiprokatif
(timbal balik) yang disebut hembusan nafas.
Control medulla oblongata
Sebagai pusat control pernafasan, terdapat
daerah ritmik medulla oblongata yang terdiri dari neuron inspirasi dan
ekspirasi.
Control pons
Mengatur transisi dari fase inspirasi ke
ekspirasi
Reflek hering – breur
Reseptor yang mengatur tingkat peregangan
paru-paru sebagai pelindung agar tidak terjadi pengembangan yang berlebihan.
8)
Kendali korteks
Kendali korteks terbatas yaitu hanya dapat
mengubah ritmik sebagai proteksi terhadap paru-paru.
Efek latihan jasmani
Olahraga berat menyebabkan penggunaan O2
lebih besar dan poduk CO2 lebih besar pula.
Efek altitude/ ketinggian
Tempat ketinggian akan menyebabkan penurunan
tekanan oksigen atmosfer, akibatnya seseorang yang berada pada tempat tinggi
akan mengalami peningkatan ritme nafas, denyut jangtung, dan kedalaman
pernafasan yang lazim terlihat pada seseorang yang sedang melakukan aktivitas.
3.
Fisiologi pernafasan
a.
Proses respirasi dapat
dibagi menjadi tiga proses utama :
1)
ventilasi pulmonal
adalah proses keluar masuknya udara dan atmosfer dal alveoli paru-paru
2)
difusi adalah proses
pertukaran O2 dan Co2 antara alveoli dan darah
3)
transfortasi adalah
proses beredarnya gas dalam darah dan cairan tubuh ked an dari sel-sel
b.
Proses fisiologi
respirasi dibagi menjadi tiga stadium yaitu :
1)
difusi gas-gas antara
alveolus dengan kapiler paru-paru dan darah sistemik dengan sel-sel jaringan.
2)
Distribusi darah
adalah sirkulasi pulmoner dan penyesuaiannya dengan distribusi udara dalam
alveolus-alveolus.
3)
Reaksi kimia dan fisik
O2 dan CO2 dengan darah
c.
Proses repirasi
eksternal
1)
Ventilasi
Udara bergerak masuk dan keluar dari paru-paru
dikarenakan adanya selisih tekanan udara di atmosfer dan alveolus dan didukung
oleh kerja mekanik otot-otot. Selama inspirasi, volume rongga dada bertambah
besar karena diafragma turun dan iga terangkat akibat kontraksi beberapa otot.
Otot serratus, otot skaleneus, dan otot interkostalis eksternus berperan
mengangkat iga, sedangkan otot sternokleidomastoideus mengangkat sternum ke
atas.
2)
Difusi
Stadium kedua proses respirasi mencakup proses
difusi gas-gas melintasi membrane antara alveolus-kapiler yang tipis. Kekuatan
pendorong untuk pemindahan ini adalah selisih tekanan parsial antara darah dan
fase gas. Tekanan O2 dalam atmosfer sama dengan tekanan laut
yakni + 149 mmHg.
Pada waktu O2 diinspirasi dan
sampai pada alveolus, tekanan parsial ini mengalami penurunan sampai sekitar
103 mmHg sebagai akibat dari udara yang tercampur dengan ruang rugi anatomis
pada saluran udara dan dengan uap air.
3)
Transportasi
Transportasi gas antar paru-paru dan jaringan
meliputi proses-proses berikut ini :
a)
Transport oksigen
dalam darah
Sistem pengangkutan O2
dalam tubuh terdiri atas paru-paru dan sistem kardiovaskuler.
a)
Transport
karbonsioksida dalam darah
b)
Kurva disosiasi oksigen
hemoglobin
Oksigen hemoglobin adalah struktur terikatnya
oksigen pada hemoglobin.
4.
Etiologi
Banyak penyakit yang mempengaruhi paru dan hubungan dengan
hipoksemia dapat menyebabkan kor pulmonal disebabkan oleh hal-hal berikut ini.
a.
Penyakit paru-paru
merata
b.
Terutama emfisema,
bronchitis kronis (COPD), dan fibrosis akibat TB
c.
Penyakit pembuluh
darah paru
Terutama thrombosis dan embolus paru dan fibrosis akibat
penyinaran yang menyebabkan penurunan elastisitas pembuluh darah paru.
1)
Hipoventilasi alveolar
menahun, yaitu semua penyakit yang menghalangi pergerakan dada normal, seperti
:
a)
Penebalan pleura
bilateral
b)
Kelainan
neuromuskuler, misalnya poliomyelitis dan distrofi otot
c)
Kifoskoliosis yang
mengakibatkan penurunan kapasistas rongga torak sehingga pergerakan torak
berkurang. Penyebab penyakit pulmonary heart disease antara lain :
ü Penyakit paru menahun dengan hipoksia,
ü Penyakit paru obstrutif kronik,
ü Fibrosis paru,
ü Penyakit fibrokistik,
ü Cryptogenic fibrosing alveolitis,
ü Penyakit paru lain yang berhubungan dengan
hipoksia
d)
Kelainan dinding dada
: Kifos koliosis, torakoplasti, fibrosis pleura, penyakit neuromuscular
2)
Gangguan mekanisme
control pernafasan :
a)
Obesitas,
hipoventilasi idopatik,
b)
Penyakit serebro
vascular.
3)
Obstruksi saluran
nafas atas pada anak :
a)
Hipertrofi tonsil dan
adenoid.
4)
Kelainan primer
pembuluh darah :
Hipertensi pulmonale primer emboli paru berulang dan vaskulitis
pembuluh darah paru.(nuzulul-fkp09.web.unair.ac.id)
a)
Klasifikasi
Secara umum kor pulmonal di bagi menjadi dua jenis, yaitu
sebagai berikut
§ Kor pulmonal akut
Yaitu dilatasi mendadak dari ventrikel kanan dan dekompensasi.
Etiologi : embolus multiple pada paru-paru atau massif yang
secara mendadak akan menyumbat aliran darah dan ventrikel kanan.
Gejala : biasanya segera di susul oleh kematian, Terjadi
dilatasi dari jantung kanan.
§ Kor pulmonal kronik
Merupakan jenis kor pulmonal yang paling sering terjadi.
Dinyatakan sebagai hipertropi ventrikel kanan akibat penyakit paru atau
pembuluh darah atau adanya kelainan pada torak, yang akan menyebabkan
hipertensi dan hipoksia sehingga terjadi hipertropi ventrikel kanan.
5)
Mekanisme terjadinya
hipertensi pulmonale pada cor pulmunale dapat di bagi menjadi 4 kategori yaitu
:
a)
Obstuksi
Terjadi karena adanya emboli paru baik akut maupun kronik. Chronic Thromboembolic Pulmonary Hypertesion (CTEPH)
merupakan salah satu penyebab hipertensi pulmonale yang penting dan terjadi
pada 0.1 – 0.5 % pasien dengan emboli paru. Pada saat terjadi emboli paru,
system fibrinolisis akan bekerja untuk melarutkan bekuan darah sehingga
hemodinamik paru dapat berjalan dengan baik. Pada sebagian kecil pasien system
fibrinolitik ini tidak berjalan baik sehingga terbentuk emboli yang
terorganisasi disertai pembentukkan rekanalisasi dan akhirnya menyebabkan
penyumbatan atau penyempitan pembuluh darah paru.
b)
Obliterasi
Penyakit intertisial paru yang sering menyebabkan hipertensi
pulmonale adalah lupus eritematosus sistemik scleroderma, sarkoidosis,
asbestosis, dan pneumonitis radiasi. Pada penyakit-penyakit tersebut adanya
fibrosis paru dan infiltrasi sel-sel yang prodgersif selain menyebabkan
penebalan atau perubahan jaringan interstisium, penggantian matriks
mukopolisakarida normal dengan jaringan ikat, juga menyebabkan terjadinya
obliterasi pembuluh paru.
c)
Vasokontriksi
Vasokontriksi pembuluh darah paru berperan penting dalam
pathogenesis terjadinya hipertensi pulmonale. Hipoksia sejauh ini merupakan
vasokontrikstor yang paling penting. Penyakit paru obstruktif kronik merupakan
penyebab yang paling di jumpai. Selain itu tuberkolosis dan sindrom
hipoventilasi lainnya misalnya sleep apnea syndrome, sindrom hipoventilasi pada
obesitas, dapat juga menyebabkan kelainan ini. Asidosis juga dapat berperan
sebagai vasokonstriktor pembuluh darah paru tetapi dengan potensi lebih rendah.
Hiperkapnea secara tersendiri tidak mempunyai efek fasokonstriksi tetepi secara
tidak langsung dapat meningkatkan tekanan arteri pulmunalis melalui efek
asidosisnya. Eritrositosis yang terjadi akibat hipoksia kronik dapat
meningkatkan vikositas darah sehingga menyebabkan peningkatan tekanan arteri pumonalis.
d)
Idiopatik
Kelainan idiopatik ini di dapatkan pada apsien hipertensi
pulmonale primer yang di tandai dengan adanya lesi pada arteri pumonale yang
kecil tanpa di dapatkan adanya penyakit dasar lainnya baik pada paru maupun
pada jantung. Secara histopatologis di dapatkan adanya hipertrofitunikamedia,
fibrosistunikaintima, lesi pleksiform serta pembentukan mikro thrombus.
Kelainan ini jarang di dapat dan etiologinya belum di ketahui Waupun sering di
kaitkan dengan adanya penyakit kolagen, hipertensi portal, penyakit autoimun
lainnya serta infeksi HIV.
5.
Patofisiologi
Beratnya pembesaran ventrikel kanan pada kor pulmonal berbaring
lurus dengan fungsi pembesaran dari peningkatan afterload. Jika resistensi
vaskuler paru meningkat dan relative tetap, seperti pada penyakit vaskuler atau
parenkim paru, peningkatan curah jantung sebagaimana terjadi pada pengerahan
tenaga fisik, maka dapat meningkatkan tekanan arteri pulmonalis secara
bermakna. Afterload ventrikel kanan secara kronik meningkat jika volume paru
membesar, seperti pada penyakit COPD, pemanjangan pembuluh paru, dan kompresi
kapiler alveolar.
a.
Pathway
Penyakit paru dapat menyebabkan perubahan fisiologis dan pada
suatu waktu akan mempengaruhi jantung serta menyebabkan pembesaran ventrikel
kanan. Kondisi ini sering kali menyebabkan terjadinya gagal jantung. Beberapa
kondisi yang menyebabkan penurunan oksigenasi paru dapat mengakibatkan
hipoksemia (penurunan PaO2) dan hiperkapnea (peningkatan PaO2), yang nantinya
akan mengakibatkan insufisiensi ventilasi. Hipoksia dan hiperkapnea akan
menyebabkan vasokontriksi arteri pulmonal dan memungkinkan terjadinya penurunan
vaskularisasi paru seperti pada emfisemi dan emboli paru. Akibatnya akan
terjadi peningkatan tahanan pada sistem sirkulasi pulmonal, yang akan
menjadikannya hipertensi pulmonal. Tekanan rata-rata pada arteri paru (arterial
mean pressure) adalah 45 mmHg, jika tekanan ini meningkat dapat menimbulkan kor
pulmonal. Ventrikel kanan akan hipertropi dan mungkin diikuti oleh gagal
jantung kanan.
b.
Manifestasi Klinik
Gejala klinis yang muncul pada klien dengan penyakit kor
pulmonal adalah sebagai berikut.
1)
Sesuai dengan penyakit
yang melatarbelakangi, misalnya COPD akan menimbulkan gejala nafas pendek, dan
batuk.
2)
Gagal ventrikel kanan
akan muncul, distensi vena leher, liver palpable ,
efusi pleura, asites, dan murmur jantung.
3)
Sakit kepala,
confusion, dan somnolen terjadi akibat peningkatan PCO2.
Informasi yang di dapat bisa berbeda-beda
antara satu penderita yang satu dengan yang lain tergantung pada penyakit
dasar yang menyebabkan pulmonary heart disease.
1)
Kor-pumonal akibat
Emboli Paru : sesak tiba-tiba pada saat istirahat, kadang-kadang didapatkan
batuk-batuk, dan hemoptisis.
2)
Kor-pulmonal dengan
PPOM : sesak napas disertai batuk yang produktif (banyak sputum).
3)
Cor pulmonal dengan
Hipertensi Pulmonal primer : sesak napas dan sering pingsan jika
beraktifitas (exertional syncope).
4)
Pulmonary heart
disease dengan kelainan jantung kanan : bengkak pada perut dan kaki serta cepat
lelah.
Gejala predominan pulmonary heart disease yang
terkompensasi berkaitan dengan penyakit parunya, yaitu batuk produktif kronik,
dispnea karena olahraga, wheezing respirasi, kelelahan dan kelemahan. Jika
penyakit paru sudah menimbulkan gagal jantung kanan, gejala – gejala ini lebih
berat. Edema dependen dan nyeri kuadran kanan atas dapat juga muncul.
Tanda- tanda pulmonary heart disease misalnya
sianosis, clubbing, vena leher distensi, ventrikel kanan menonjol atau gallop (
atau keduanya), pulsasi sternum bawah atau epigastrium prominen, hati membesar
dan nyeri tekan, dan edema dependen.Gejala- gejala tambahan ialah: Sianosis,
Kurang tanggap/ bingung, Mata menonjol
6.
Pemeriksaan Penunjang
a.
Pemeriksaan radiologi
Perluasan hilus dapat dinilai dari perbandingan jarak antara
permulaan percabangan pertama arteri pulmonalis utama kanan dan kiri dibagi
dengan diameter transversal torak. Perbandingan > 0,36 menunjukkan
hipertensi pulmonal.
1)
Batang pulmonal dan
hilus membesar
b.
Ekokardiografi
Memungkinkan pengukuran ketebalan dinding ventrikel kanan,
meskipun perubahan volume tidak dapat diukur, teknik ini dapat memperlihatkan
pembesaran kavitas ventrikel kanan dalam yang menggambarkan adanya pembesaran
ventrikel kiri. Septum interventrikel dapat bergeser ke kiri.
c.
Magnetic resonance
imaging (MRI)
Berguna untuk mengukur massa ventrikel kanan,
ketebalan dinding, volume kavitas, dan fraksi ejeksi.
d.
Biopsi paru
Dapat berguna untuk menunjukkan vaskulitis
pada beberapa tipe penyakit vaskuler paru seperti penyakit vaskuler kolagen,
arthritis rheumatoid, dan Wegener granulomatosis.
7.
Penatalaksanaan Medis
Tujuan dari penatalaksanaan adalah peningkatan
ventilasi klien dan mengobati penyakit yang melatarbelakangi beserta
manifestasi dari gagal jantungnya.
Secara umum penatalaksanaan medis yang dapat
dilakukan adalah sebagai berikut.
a.
Pada klien dengan
penyakit asal COPD dapat diberikan O2 pemberian O2 sangat dianjurkan untuk
memperbaiki pertukaran gas dan menurunkan tekanan arteri pulmonal dan tahanan
vaskuler pulmonal.
b.
Bronchial hygiene,
diberikan obat golongan bronkodilator.
1)
Jika terdapat gejala
gagal jantung, maka harus memperbaiki kondisi hipoksemia dan hiperkapnea.
2)
Bedrest, diet rendah sodium, dan pemberian diuretic
3)
Digitalis, bertujuan
untuk meningkatkan kontraktilitas dan menurunkan denyut jantung, selain itu
juga mempunyai efek digitalis ringan.
8. Komplikasi
Komplikasi dari pulmonary heart disease
diantaranya:
a. Sinkope
b. Gagal jantung kanan
c. Edema perifer
d. Kematian
9.
Prognosis
Belum ada pemeriksaan prospektif yang dilakukan
untuk mengetahui prognosis pulmonary heart disease kronik. Pengamatan
yang dilakukan tahun 1950 menunjukkan bahwa bila terjadi gagal jantung kanan
yang menyebabkan kongestinvena sistemik, harapan hidupnya menjadi kurang dari 4
tahun.
Walaupun demikian, kemampuan dalam penanganan
pasien selama episode akut yang berkaitan dengan infeksi dan gagal napas
mangalami banyak kemajuan dalam 5 tahun terakhir.
Prognosis pulmonary heart disease berkaitan
dengan penyakit paru yang mendasarinya. Pasien yang mengalami pulmonary heart
disease akibat obeliterasi pembuluh darh arteri kecil yang terjadi secara
perlahan-lahan akibat penyakit intrinsiknya (misal emboli), atau akibat
fibrosis intertisial harapan juntuk perbaikannya kecil karena kemungkinan perubahan
anatomi yang terjadi subah menetap. Harapan hidup pasien PPOK jauh lebih baik
bila analisis gas darahnya dapat dipertahankan mendekati normal.
10.
Pencegahan
Menghindari perilaku yang mengarah pada
penyakit paru-paru kronis (terutama merokok) dapat mencegah perkembangan akhir
cor pulmonale. Evaluasi seksama murmur jantung anak dapat mencegah cor
pulmonale yang disebabkan oleh cacat jantung tertentu.
B. Asuhan
Keperawatan Kor Pulmonal
1. Data
pengkajian pasien
a. Riwayat
Kesehatan
Keluhan
utama :
1. KP
akibat emboli paru : sesak tiba-tiba pada saat istirahat, kadang-kadang
didapatkan batuk-batuk, dan hemoptisis.
2. KP
dengan PPOM : sesak nafas disertai batuk yang produktif (banyak sputum).
3. KP
dengan hipertensi pulmonal primer : sesak nafas dan sering pingsan jika
beraktivitas ( excertion syncope )
4. KP
dengan kelainan jantung kiri : sesak nafas, orthopnea, paroxymal nocturnal
dyspnea.
5. KP
dengan kelainan jantung kanan : bengkak pada perut dan kaki serta cepat lelah.
6. Gejala
predominan cor pulmonale yang terkompensasi berkaitan dengan parunya, yaitu
batuk produktif kronik, dispnea karna olahraga, wheezing respirasi, kelelahan
dan kelemahan jika penyakit paru sudah menimbulkan gagal jantung kanan,
gejala-gejala ini lebih berat. Edema dependen dan nyeri kuadran kanan atas
dapat juga muncul.
7. Tanda-tanda
cor pulmonal misalnya sianosis, clubbing, vena leher distensi, ventrikel kanan
menonjol atau gallops (atau keduanya), pulsasisternum bawah atau epigastrium
prominen, hati membesar dan nyeri tekan, dan edema dependen.
8. Gejala-gejala
tambahan ialah : sianosis, kurang tanggap/bingung, mata menonjol
9. Gejala
prodominan cor pulmonal yang terkompensasi berkaitan dengan penyakit parunya,
yaitu batuk produktif kronik, dispnea karna olahraga, wheezing respirasi,
kelelahan dan kelemahan. jika penyakit paru sudah menimbulkan gagal jantung
kanan, gejala-gejala ini lebih berat. Edema dependen dan nyeri kuadran kanan
atas juga dapat muncul.
b. Riwayat
Kesehatan masa lalu
Riwayat merokok,
merupakan penyebab timbulnya kelainan paru obstruktir kronik, polusi udara
(asam dari cerobong-cerobong pabrik didaerah industri dan asap dari kendaraan
bermotor).
c. Riwayat
kesehatan keluarga
Pada banyak kasus kor
pulmonal ditemukan pada anggota keluarga tertentu ternyata kekurangan
alfa-antripsin memegang peranan dalam penentuan predisposisi terjadinya
penyakit paru obstruktif kronik.
d. Pemeriksaan
Fisik
1. Inspeksi
a. Vena-vena
pada leher tidak terlihat kolaps pada saat inspirasi
b. Kelemahan
c. Dispnea
d. Sianosis
pada jari
e. Perubahan
mental
2. Auskultasi
a. Terdengar
geraham steel murmur yang bersifat soft,blowing, high pict diasolik murmur,
akibat adanya insusivisiensi relatif katup pulmonal.
b. Right
ventrikular lif
c. Right
arterial gallop
d. Gant
waves
e. Pola
kebiasaan sehari-hari
1. Aktivitas
dan istirahat
Gejala
:
a. Mengeluh
lemah, cepat lelah, pusing , rasa berdenyut dan berdebar
b. Mengeluh
sulit tidur (orthopneu, dispneu paroksimal nocturnal, nocturia, keringat malam
hari).
Tanda :
Takikardia, perubahan tekanan darah,
pingsan karena kerja, tekpineu, dipsneu.
2.
Sirkulasi
Gejala
:
Menyatakan
memiliki riwayat demam reumatik hipertensi, kongenital; kerusakan arterial
septal, trauma dada, riwayat murmur jantung dan papitasi, serak, hemoptisi,
batuk dengan/tanpa sputum, riwayat anemia, riwayat shock hipovolema.
Tanda
:
Getaran
sistolik pada askpek, bunyi jantung; S1 keras, pembukaan yang keras,
takikardia. Irama tidak teratur, fibrilasi arterial.
3. Integritas
Ego
Tanda :
Menunjukkan
kecemasan; gelisah, pucat, berkeringat,gemetar. Takut akan kematian, keinginan,
mengakhiri hidup, merasa tidak berguna, kepribadian neurotik.
4. Makan/cairan
Gejala :
Mengeluh terjadi perubahan berat badan,
sering penggunaan deuretik
Tanda
:
Edema
umum, hepatomegali dan asistes, pernapasan parah dan bising terdengar krekela
dan mengi
5. Neurosensoris
Gejala :
Mengeluh kesemutan
Tanda :
Kelemahan
6. Pernapasan
Tanda :
Mengeluh sesak, batuk
menetap atau noktunal
Gejala :
Takipneu, bunyi nafas; krekels, mengi,
sputum berwarna bercak darah, gelisah
2.
Diagnosis
keperawatan
a.
gangguan
pertukaran gas yang berhubungan dengan hipoksenia secara reversible/menetap.
Tujuan : nafas klien berangsur-angsur membaik
dalam waktu 2x24 jam.
Kriteria hasil :
1.
Pasien
menunjukkan perbaikan ventilasi dan oksigenasi.
2.
Frekuensi
pernafasan normal tanpa mengguinakan otot bantu pernafasan.
3.
Tidak
terjadi distress pernafasan.
4.
Akral
hangat.
5.
Pasien
tidak sianosis.
6.
RR 18-20
x/menit
INTERVENSI
|
RASIONAL
|
1.
Observasi tanda vital dan irama
jantung
|
Takikardia, distrimia dan perubahan TD dapat
menunjukan efek hipoksemia sistemik pada fungsi jantung
|
2.
Tinggikamn kepala tempat tidur, bantu
pasien untuk memilih posisi yang mudah untuk bernafas
|
Pengiriman oksigen dapat diperbaiki dengan poisisi
duduk dan latihan nafas untuk menurunkan kolaps jalan napas, dispnea dan
kerja napas
|
3.
Kaji atau awasi secara rutin kulit dan
warna membran mukosa
|
Sianosis mungkin perifer ( terlihat pada kuku)
atau sentral ( terlihat pada sekitar bibir ). Keabu-abuan dan sianosis sentral
mengindikasikan beratnya hipoksemia.
|
4.
Awasi tingkat kesadaran atau status
mental. Selidiki adanya perubahan
|
Gelisah dan ansietas adaalah manifestasi umum pada
hipoksia
|
5.
Awasi tingkat toleransi aktivitas,
berikan lingkungan yang tenang, batasi aktivitas pasien atau dorong intuk
tidur/ istirahat selama fase akut.
|
Selama distress pernapasan berat/ akut/ refraktori
pasien secara total tak mampu melakukan aktifitas karena hiposemia dan
dispnea, istirahat dapat menghemat pemakaian oksigen.
|
6.
Jelaskan pada keluarga tentang
tindakan yang akan dilakukan
|
Pengetahuan yang memadai memungkinkan keluarga
untuk dapat kooperatif.
|
7.
Kolaborasi dalam pemberian oksigen
dengan benar, misalnya dengan nasal canule, masker/ mesker venture.
|
Tujuan terapi oksigen adalah untuk mempertahankan
Pa O2. Oksigen diberikan dengan metode memberikan pengiriman tepat dalam
toleransi pasien.
|
b. ketidak
efektifan bersihan jalan nafas yang berhubungan dengan adanya brokhokonstriksi,
akumulasi sekret jalan nafas yang dan menurunnya kemampuan batuk efektif
ditandai dengan batuk bnerdahak/ berlendir,. Terdengan ronkhi dan wheezing,
sesak nafas.
Tujian: jalan
nafas kembali efektif dalam jangka waktu 1x24jam.
Kriteria hasil:
1.
Pasien menunjukan
prilaku pencapaian bersihan napas
2.
Tidak terjadi sianosis,
dipsnea
3.
Tidak ada bunyi napas
tambahan
4.
Pasien mampu melakukan
batuk efektif
5.
Tidak terdengan ronkhi
dan wheezing
6.
Sesak nafas dapat
berkurang atau sembuh
Intervensi
|
Rasional
|
Berikan air mkinum yang hangat
|
Air hangat membantu mengencerkan dahak
|
Bantu klien latihan nafas dalam
|
Ventilasi maksimal membuka lumen dan meninkatkan
gerakan sekret kedalam jalan nafas besar untuk dikeluarkan
|
Ajarkan batuk efektif
|
Batuk yang terkontrol dan efektif dap[at
memudahkan pengeluaran sekret yang melekat dijalan nafas
|
Pertahankan intake cairan sedikitnya 2500ml/hari
(kcuali tidak di indikasikan)
|
Hidrasi yang adekuat membantu m,engencerkan sekret
dan mengefektrifkan pembersihan jalan nafas
|
Jelaskan pada klien fungsi batuk efektif
|
Batuk adalah mekanisme pembersihan jalan nafas
secara alami.pengumpulan cairan, sekret kental dan spasme jalan nafas/
okstruksi
|
Kolaborasi pemberian obat brokodilator golongab
B2; nebulizer (via inhalasi )dan intravena dengan golongan the0phyline
ethiledinamine (aminovilin) bolus IV
|
Pemberian bronkodilator via inhalasi akan langsung
menuju area bronkus yang memngalami spasme sehingga lebih cepat berdilaktasi;
pemberian secara intravena merupakan usaha pemeliharaan agar dilatasi jalan
nafas dapat optimal
|
c.
gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh yang
berhubungan dengan penurunan napsu makan, mual dan muntah.
Tujuan
:
1.
Kebutuhan nutrisi paisen terpenuhi selama perawatan
2. menunjukan peningkatan nafsu makan dan mempertahankan berat badan
Kriteria hasil :
1. Nafsu
makan membaik atau meningkat
2. Mual
dan muntah berkurang atau dapat teratasi
3. Tidak
terjadi penurunan berat badan
Intervensi
|
Rasional
|
Opservasi
intek dan out put
|
Mengevaluasi
perkembangan/ kemajuan pasien
|
Berikan makan
sedikit demi sedikit tapi sering
|
Membantu
pemenuhan kebutuhan nutrisi
|
Jelaskan pada
klien tentang pentingnya nutrisi
|
Nutrisi
penting untuk pembentukan kalori dan membantu mempercepat peroses penyembuhan
|
Kolaborasi
dengan dokter tentang pemberian antiamatic
|
Antiematik
dapat mengurangi efek mual.
|
AKADEMI KEPERAWATAN HARUM JAKARTA
TAHUN 2016
TAHUN 2016
DAFTAR PUSTAKA
Doenges, Marilynn E. 1999.
Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta : EGC.
Mansjoer, Arif. Dkk.
2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius
Wahid, Abdul. 2013. Keperawatan Medikal Bedah,
Asuhan Keperawatan Pada Gangguan Sistem Respirasi. Jakarta: TIM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar